WASHINGTON - Dalam minggu-minggu terakhir masa pemerintahannya, mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan para pembantunya menekan Departemen Kehakiman untuk menyelidiki keluhan tentang kecurangan pemungutan suara yang tidak berdasar dan untuk membatalkan kekalahannya dalam pemilihan presiden, berdasarkan sejumlah dokumen yang baru diterbitkan hari Selasa (15/6).
Hampir lima bulan setelah meninggalkan jabatannya, Trump masih berpendapat dirinya dicurangi dalam pemilihan presiden akibat penyimpangan proses pemungutan suara.
Menurut Komite Pengawasan dan Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat AS, sebelum meninggalkan jabatannya, Trump, mantan Kepala Staf Gedung Putih Mark Meadows, dan seorang pengacara pribadinya, Kurt Olsen, berusaha meminta Departemen Kehakiman untuk menyelidiki dugaan penyimpangan pemungutan suara, yang lusinan kasusnya sudah lebih dulu ditolak pengadilan.
Akan tetapi, lembaga itu, yang pada minggu-minggu terakhir pemerintahan Trump dipimpin oleh penjabat Jaksa Agung Jeffrey Rosen, menolak segala tuntutan Trump.
(Baca juga: Studi Terbaru: Virus Corona Sudah Merebak di AS Sejak Desember 2019)
“Dokumen-dokumen ini menunjukkan bahwa Presiden Trump mencoba merusak badan penegak hukum negara kita dalam upayanya yang tak tahu malu untuk membalikkan hasil pemilu yang gagal ia menangkan,” kata Ketua Komite Carolyn Maloney, anggota Kongres asal New York dari Partai Demokrat.
Trump mengajukan tuntutan itu bahkan setelah Jaksa Agung William Barr, yang kala itu telah mengajukan pengunduran dirinya, sudah menyimpulkan pada 1 Desember bahwa “hingga saat ini, kami belum melihat tindak penipuan dalam skala yang bisa mengubah hasil pilpres.” Barr meninggalkan jabatannya pada 23 Desember dan digantikan Rosen yang sebelumnya duduk sebagai wakilnya.
(Baca juga: Beijing Desak NATO untuk Berhenti Besar-besarkan "Teori Ancaman China")
Dokumen-dokumen yang diterbitkan komite itu menunjukkan bahwa Trump, melalui seorang asisten, mengirim email kepada Jeffrey Rosen pada 14 Desember 2020 dengan lampiran berisi dokumen yang menyatakan terdapat kecurangan pemilu di Michigan utara – tuduhan yang telah dibantah dan ditolak oleh seorang hakim federal.
Dua minggu kemudian, Trump juga gagal meminta pengacara di Departemen Kehakiman untuk mengajukan gugatan hukum yang ditulis Olsen dengan Mahkamah Agung AS yang menyatakan bahwa perubahan undang-undang pemungutan suara yang dibuat negara bagian Georgia, Michigan, Wisconsin, Arizona, Nevada dan Pennsylvania untuk melonggarkan persyaratan pemungutan suara melalui pos selama pandemi Covid-19 adalah tindakan ilegal.
Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa tekanan Trump soal klaim-klaim kecurangan pemilu terjadi pada waktu yang hampir bersamaan dengan aksi Meadows, kepala staf Gedung Putih, yang meminta Rosen untuk memeriksa teori-teori konspirasi tak berdasar lainnya mengenai pemilu.
Menurut laporan New York Times, di atara teori-teori itu, ada sebuah klaim yang menyebut bahwa sejumlah orang yang terkait dengan kontraktor pertahanan Italia menggunakan teknologi satelit yang berbasis di Eropa untuk mengutak-atik peralatan pemungutan suara pemilu AS dari Eropa untuk mengalihkan suara dari Trump ke Joe Biden, yang memenangkan pilpres dan dilantik 20 Januari lalu.
(Susi Susanti)