Abdul Muis juga terlibat dalam peristiwa pemogokan massal buruh di Yogyakarta pada 1922. Akhirnya, Pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkannya ke Garut, Jawa Barat pada tahun 1927.
Di Garut, jiwa sastra Abdul Muis muncul. la menulis novel yang kemudian cukup terkenal hingga sekarang yakni "Salah Asuhan". Ia juga menerjemahkan buku dan bahasa asing, antara lain "Sebatang Kara", "Don Kisot", dan "Tom Sawyer Anak Amerika".
Pada zaman Jepang, nama Abdul Muis tidak banyak terdengar. Tetapi setelah kemerdekaan diproklamasikan, keinginannya untuk melakukan kegiatan politik bangkit kembali. Bersama beberapa temannya, ia membentuk "Persatuan Perjuangan Priangan", yang berpusat di Wanaraja, di luar Garut.
Baca juga: 5 Fakta Kim Yo-jong Calon Pengganti Kim Jong-un, Ahli Komputer dan 'Mesin' Propaganda
Tahun 1946 ia ditawari menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, tetapi ada saja orang yang iri. Orang itu menulis laporan palsu kepada Presiden Soekarno yang mengatakan bahwa sewaktu diasingkan di Garut, Abdul Muis minta ampun kepada Pemerintah Belanda. Padahal, anjuran meminta ampun ditolak mentah-mentah oleh Abdul Muis.
Pada 17 Juni 1959, Abdul Muis meninggal dunia di Bandung. Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 218 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959, Pemerintah RI menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan kepada Abdul Muis.
(Widi Agustian)