Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Cerita Unik Rumah Tua Peninggalan Bouwplan 7 Belanda yang Jadi Cagar Budaya

Avirista Midaada , Jurnalis-Sabtu, 09 Juli 2022 |06:01 WIB
Cerita Unik Rumah Tua Peninggalan Bouwplan 7 Belanda yang Jadi Cagar Budaya
Rumah tua peninggalan saat zaman penjajahan Belanda di Malang (foto: MPI/Avirista)
A
A
A

MALANG - Sekilas rumah tua di Malang peninggalan zaman masa kolonial Belanda memang tak ada bedanya. Karakteristik rumah kolonial buatan Belanda menjadikan rumah yang kini di tempati Irawan Prajitno ini.

Namun siapa sangka rumah peninggalan kolonial Belanda ini memiliki cerita tersendiri. Cerita itu datang saat rumah itu selesai dibangun oleh Belanda di bouwplan 7 bersama kawasan perumahan elite di Jalan Ijen dan sekitarnya, pada tahun 1934.

"Dulunya rumah ini perkebunan tebu punyanya Pabrik Gula Kebonagung dibangun 1934 masuk bouwplan 7, ditempati 1935," kata pemilik rumah Irawan Prajitno, ditemui MNC Portal, Jumat 8 Juli 2022.

 BACA JUGA:Cagar Budaya Jembatan Kereta Terowongan Tiga Matraman Terbengkalai Jadi Lokalisasi Prostitusi

Menurut Irawan, kawasan permukiman baru yang dibangun pemerintahan Belanda di Jalan Ijen dan sekitarnya, hanya diperuntukkan untuk orang-orang Eropa, para pejabat kota kala itu, dan pengusaha Belanda. Orang pribumi atau inlandeer dalam bahasa Belanda, diharamkan bertempat tinggal di daerah itu.

 Cagar budaya

Bahkan konon ada pagar khusus yang memisahkan permukiman orang-orang Belanda dan Eropa lainnya dengan perkampungan pribumi yang ada di bawahnya. Para pribumi ini pun tak bisa sembarangan masuk kawasan permukiman Eropa itu.

"Bouwplan 7 diperuntukkan untuk para pejabat Kota Malang yang Belanda, kaum penguasaha, dan diperuntukkan untuk orang Eropa, intinya daerah ini ditetapkan wilayah Belanda dan tempat tinggal pejabat Malang. Yang pribumi ditaruh di bawah di Oro-oro Dowo, Jodipan, Kebalen. Dia (orang Belanda ini) nggak mau rumahnya lebih rendah dari inlandeer atau pribumi, karena daerah sini kan lebih tinggi dari yang sebelah timur. Itu psikologis orang Belanda," jelasnya.

 BACA JUGA:Bangunan SDN 207 di Banda Naira Dinilai Layak Menjadi Sebuah Cagar Budaya

Menariknya dari deretan permukiman warga Eropa itu ada satu-satunya rumah yang ditempati oleh warga pribumi atau inlandeer. Rumah ini berada di Jalan Anjasmoro Nomor 5 dihuni oleh Slamet dan keluarganya. Saat itu Slamet menjadi bagian dari pejabat di rumah pemotongan hewan (RPH) yang dibuat Belanda.

"Yang namanya Slamet ini orang pertama ini, Orang Jawa kok bisa milih tempat tinggal di sini. Kebetulan ada sedikit punya sumbangan kepada sejarah Kota Malang, dia kepala RPH pertama yang dibuat oleh Belanda," terangnya.

 Cagar budaya

Awalnya Slamet bisa menjadi salah satu pejabat di pemerintahan Belanda berawal dari lowongan kerja yang dibuka. Dimana saat itu pemerintah Belanda membuka lowongan untuk merancang rumah pemotongan hewan yang higienis dan bagus.

"Karena sebelumnya mungkin nggak ada yang bagus, akhirnya dibikin itu. Pemerintah Kotapraja membuka lowongan, jadi Pak Slamet ini dia dokter hewan, jadi dokter hewan lahir 1919, tahun 1930-an tugas di Watampone, anak sudah ada empat, kalau tetap di luar Jawa pendidikannya sulit. Makanya begitu ada lowongan tadi Slamet ini ngajukan lamaran," jelasnya.

 Cagar budaya

Singkat cerita akhirnya dia berhasil diterima, kemampuan berkomunikasi dengan warga pribumi dan penguasaan bahasa Belanda dan bahasa lokal, menjadikannya kandidat yang diterima.

"Urusan potong hewan urusan sama orang-orang inlandeer urusan pekerjaan kasar sama orang-orang lokal. Kalau kepalanya orang Belanda, komunikasinya nggak bisa nggak enak, sampai hari ini semuanya orang Madura. Kakek saya bisa ngomong Madura, pernah dinas di Sumenep tahun 1926. Itu salah satu kelebihan yang akhirnya menduga-duga kenapa akhirnya diterima oleh Belanda, ada sejarahnya walaupun sedikit di Kota Malang," jelasnya.

Lalu Slamet dengan memiliki keistimewaannya mengajukan rumah tinggal di Belanda, ia meminta kepada pemerintah kolonial diberi kesempatan membeli rumah di kawasan permukiman Eropa itu.

"Karena jabatan itulah punya privilege bisa membeli rumah yang bukan pribumi, yang semuanya ditempati orang-orang Eropa. Jadi dia membeli rumah dari gajinya nyicil ke kotapraja," ungkapnya.

Selama bertempat tinggal di permukiman itu masyarakat pribumi sebenarnya juga sempat bertanya-tanya di istri Pak Slamet. Salah satunya pertanyaan yang disampaikan bagaimana saat acara selamatan dan syukuran.

"Teman-teman pribumi tanya kok mau bertempat di kampung Belanda. Kalau selamatan gimana, gampang kalau selamatan ngundang kampung Oro-oro Dowo. Nenek saya gitu enteng banget jawabnya tinggal disini," jelasnya.

Rumah ini sendiri dibangun dengan tipe villa yang memilik bangunan cukup luas dan mewah. Beberapa bagian bangunannya bahkan sengaja didatangkan dari luar negeri, demi kualitas dan ketahanan bangunan.

"Rumah ini standar banget, meskipun tipe villa, standarnya contohnya lantai dibedakan warna coklat, kuning ini standar. Kalau rumah orang kaya ada gambar-gambarnya, mewakili zaman bentuknya seperti ini, cuma memang luas rumahnya. Rumah tipe villa kan gitu ciri khasnya," bebernya.

Berkat keunikan dan dipertahankannya karakteristik bangunan, Pemkot Malang melabeli bangunan rumah yang kini ditempati generasi ketiga yakni Irawan Prajitno dan istrinya Nana Shanty, sebagai bangunan cagar budaya tahun 2018.

"Suatu hari orang dari Disparbud menyampaikan surat izin untuk melakukan survei untuk proses penetapan cagar budaya. Rupanya melihat ini salah satu yang layak, objek diduga cagar budaya kemudian ditetapkan sebagai cagar budaya. Akhirnya dikaji akhirnya dinyatakan cagar budaya tahun 2018," tukasnya.

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement