Kembalinya dinasti Rajapaksa
Serangkaian serangan teroris yang melakukan aksi pengeboman bunuh diri terkoordinasi pada 21 April 2019, memungkinkan keluarga Rajapaksa untuk bangkit kembali di ajang politik Sri Lanka.
Setelah tragedi pengeboman oleh kelompok radikal Islamis yang menewaskan lebih dari 250 orang, Gotabaya mengumumkan bahwa dia akan mencalonkan diri sebagai presiden dan berjanji untuk memulihkan keamanan.
Dia bersumpah untuk mengembalikan nasionalisme yang kuat, yang telah membuat keluarganya populer di kalangan mayoritas Buddha-Sinhala, dan bertekad memimpin Sri Lanka keluar dari krisis ekonomi.
Gotabaya Rajapaksa akhirnya memenangkan pemilihan umum yang diadakan pada November 2019 dan berhasil membawa keluarga Rajapaksa kembali ke pusat kekuasaan.
"Pertama kali, kemenangan atas pemberontak Tamil. Kedua kalinya, mereka berkampanye bahwa hanya mereka yang bisa menyelamatkan negara dari ISIS, kelompok teror muslim," kata Nixon.
Setelah memangku jabatan sebagai presiden Sri Lanka, Gotabaya melakukan praktek nepotisme, dengan mengangkat kakaknya, Mahinda sebagai Perdana Menteri dan saudara kandung lainnya memegang jabatan kunci. Kakaknya, Basil, ditunjuk sebagai menteri keuangan, Adiknya, Chamal, dipilih menjadi menteri irigasi. Selain itu, putranya, Namal, diangkat menjadi menteri olahraga dan pemuda.
Penunjukan tersebut memastikan bahwa keluarga Rajapaksa memegang kendali atas aparatur negara dan sektor-sektor utama ekonomi. Samarajiva dari lembaga think tank LIRNEasia menambahkan, masyarakat tidak menganggap serius nepotisme ini.
Neil DeVotta, profesor politik dan hubungan internasional di Universitas Wake Forest di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa retorika dan tindakan mayoritas Sinhala adalah alasan utama di balik kesuksesan mereka.
"Menjadi nasionalis Buddha-Sinhala dan menggambarkan diri mereka sebagai pembela negara yang paling kuat adalah saus rahasia untuk kesuksesan mereka. Ini memungkinkan penduduk Buddha yang dominan mengabaikan keserakahan mereka," kata DeVotta, penulis buku "Blowback: Nasionalisme Linguistik, Peluruhan Kelembagaan, dan Konflik Etnis di Sri Lanka."
Kebijakan yang buruk dan populis
Popularitas keluarga dan dominasi pada lanskap politik negara, bagaimanapun, menghasilkan serangkaian keputusan yang tidak bijaksana dan populis. Pada 2019, Rajapaksa menerapkan pemotongan pajak besar-besaran, yang berdampak pada keuangan pemerintah.
Dan tahun 2021, pemerintah memutuskan untuk melarang semua pupuk kimia, yang merugikan produksi pangan dalam negeri. Meskipun pihak berwenang mencabut larangan tersebut setelah enam bulan, kerusakan telah terjadi, yang memicu kekurangan pangan.
"Hampir setiap keputusan yang diambil Gotabaya salah. Dan rakyat yang harus membayar mahal konsekuensi dari tindakannya itu," kata Samarajiva, yang bekerja untuk Kementerian Reformasi Ekonomi.
"Gotabaya memiliki banyak penasihat di sekitarnya. Dalam banyak kasus, dia mengambil nasihat dari orang yang salah. Misalnya, dia menerima nasihat tentang pertanian dari seorang dokter," katanya.
Ketika pandemi COVID-19 melanda, sektor-sektor utama ekonomi, terutama industri pariwisata yang merupakan sumber pendapatan terpenting, terpukul berat. Samarajiva mengatakan, dia dan para ahli lainnya bertemu dengan Presiden Gotabaya pada Mei 2020 dan menyarankan agar pemerintah mengetuk pintu Dana Moneter Internasional (IMF) untuk mencari bantuan. Namun, pemerintah baru mendekati IMF pada Maret 2022.