"Tapi kami berduka atas Ratu karena dia adalah seorang pribadi, seorang manusia," katanya. "Kami bersedih bila ada orang yang mati,” lanjutnya.
Presiden Kenya, Uhuru Kenyatta, yang menyebut Ratu sebagai "ikon pelayanan tanpa pamrih", mendapat kecaman dari beberapa warga Kenya karena menetapkan empat hari berkabung nasional.
Mantan presiden Botswana, Ian Khama, adalah orang berikutnya yang membela warisan Ratu, menyebutnya sebagai hal yang tak tergantikan.
"Kolonialisme bukanlah sesuatu yang ingin kita ingat, itu periode yang kelam," katanya.
"Ratu mewarisi legasi itu, ia bukan arsiteknya ... tetapi ketika ia bertakhta, seolah-olah untuk memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh kolonialisme, ia menunjukkan bahwa kami tidak berada di atas Anda, kami ingin berpartisipasi dalam pembangunan Anda dan membantu Anda tumbuh sebagai bangsa,” ujarnya.
Ia berpendapat, Afrika harus memandang sang Ratu sebagai orang yang "membawa era baru dari masa lalu yang kelam".
Banyak yang berkata bahwa Ratu tidak pernah meminta maaf atas kejahatan yang dilakukan atas nama kerajaan. Namun, ia pernah beberapa kali mengakui "episode yang sulit" dan "menyedihkan", seperti pembantaian di Amritsar, India utara, pada 1919.
Sebelum mengunjungi situs tersebut pada 1997, tempat seorang jenderal Inggris memerintahkan pasukan untuk menembaki demonstran yang terkurung di dalam taman bertembok, sang Ratu memberikan pidato yang mengungkapkan penyesalan.
"Sejarah tidak bisa ditulis ulang, betapapun kita mungkin kadang-kadang berharap sebaliknya. Ia punya momen-momen kesedihan serta momen-momen kegembiraan. Kita harus belajar dari kesedihan dan membangun di atas kegembiraan,” ungkapnya.
(Susi Susanti)