Daratan China secara tidak langsung telah menciptakan identitas “orang Taiwan” yang terpisah dengan Daratan China, sedangkan Taiwan secara tidak langsung belum sanggup meninggalkan ke-Cina-annya. Jadi tidak salah kalau Indonesia dan negara ASEAN lainnya mengatakan, tidak campur dalam urusan negeri negara lain. Indonesia mendukung demokrasi, tetapi tidak mendukung separatisme. Indonesia mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa tetapi tidak mendukung perpecahan bangsa-bangsa. Jadi, Otoritas Daratan China dan Taiwan/Republik China, pertimbangkanlah segera untuk menyelesaikan masalah keluarga anda dulu sebelum meminta bantuan dunia internasional maupun menekan dunia internasional untuk mengakui satu China seperti yang sering dilakukan oleh otoritas Beijing selama ini.
Realita gerakan pemisahan Taiwan dengan daratan China bisa dimengerti dan diterima secara umum. Karena sebenarnya pemerintah Republik Rakyat China sendiri yang telah secara tidak sadar ataupun sadar menyebabkan lahirnya gerakan kemerdekaan ini. Aktivitas luar negeri pemerintah ataupun otoritas Taiwan di luar Taiwan dibendung. Taiwan tidak diperkenankan menggunakan nama aslinya sebagai negara Republik China dan hanya ada satu China di dunia internasional. Negara yang mengakui Republik China berarti tidak mengakui Republik Rakyat China, ini juga telah memunculkan identitas sebagai rakyat Taiwan yang tertindas, bukan lagi sebagai penduduk propinsi yang tertindas oleh pusat.
Realita kedua yang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa sampai saat ini Taiwan masih menggunakan nama resmi negaranya “Republik China”, yang artinya mereka atau rakyat Taiwan sendiri belum sanggup dan masih berdebat dengan identitas mereka sendiri. Apakah mereka harus menghilangkan semua ke-Cina-annya? Dengan menghilangkan bahasa nasional, budaya, nama negara, dan konsitusi? Sampai detik ini, ketika penulis menulis artikel ini, Taiwan masih belum sanggup melakukan perubahan itu. Jadi Penulis tetap menggunakan kata “otoritas Taiwan” dan “Daratan Tiongkok”, untuk menunjukkan mereka masih satu tetapi masing-masing memiliki pemerintahan yang berbeda. Ini berbeda dengan kasus Hongkong, Xin Jiang maupun Ukraina dan Rusia.
Taiwan sendiri harus berani meninggalkan semua identitas chineseness atau ke-Cina-annya dan secara resmi memproklamirkan dirinya bukan merupakan bagian dari China, seperti kata Perdana Menteri Singapura , Lee Hsien Loong yang megatakan kepada rakyatnya pada perayaan kemerdekaan Singapura di Istana negara tahun ini. Lee Hsian Loong mengatakan bahwa mandarin singapura berbeda dengan China, kita bukan China, tapi kita Singapura. Apakah Taiwan berani menghilangkan konsitusi Republik China, identitas dari kartu tanda penduduk, paspor, maupun hal-hal yang berbau China? Kalau Taiwan sanggup melakukan itu, penulis merasa saat itu belum terlambat untuk dunia internasional termasuk Indonesia yang menganut politik luar negeri Bebas dan Aktif ini untuk membuat keputusan, mendukung berdirinya negara Taiwan yang lepas dari China atau mendukung kembalinya Taiwan ke “pangkuan” ibu pertiwi. Jadi permasalahan sebenarnya ada di Taiwan dan Daratan.
Daratan China secara tidak langsung telah menciptakan identitas “orang Taiwan” yang terpisah dengan Daratan China, sedangkan Taiwan secara tidak langsung belum sanggup meninggalkan ke-Cina-annya. Jadi tidak salah kalau Indonesia dan negara ASEAN lainnya mengatakan tidak campur dalam urusan negeri negara lain. Indonesia mendukung demokrasi, tetapi tidak mendukung separatisme. Indonesia mendukung kemerdekaan bangsa-bangsa tetapi tidak mendukung perpecahan bangsa-bangsa. Jadi, Otoritas Daratan China dan Taiwan/Republik China, pertimbangkanlah segera untuk menyelesaikan masalah keluarga anda dulu sebelum meminta bantuan dunia internasional maupun menekan dunia internasional untuk mengakui satu China seperti yang sering dilakukan oleh otoritas Beijing selama ini.
Penulis: Harryanto Aryodiguno, Ph.D (Dosen jurusan Hubungan Internasional President University, Jababeka-Cikarang), Wasekjen VI bidang Perindustrian dan Perdagangan DPP Partai Perindo.
(Arief Setyadi )