Di era ini, kemajuan teknologi berkembang sangat pesat, dan hal ini tentunya berdampak baik kepada beberapa sektor termasuk sektor mitigasi bencana.
Dengan adanya perkembangan teknologi yang pesat, maka upaya-upaya pencegahan bencana atau mitigasi bencana juga dapat terlaksana.
Teknologi-teknologi canggih yang digunakan dalam upaya pencegahan bencana hanya dimiliki oleh negara-negara maju. Lalu, bagaimana nasib negara-negara yang bukan merupakan bagian dari negara maju?
Indonesia merupakan negara yang dapat dikatakan memiliki potensi bencana alam yang cukup tinggi.
Letak geografis negara Indonesia berada dalam posisi yang rawan karena berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik yang terkenal aktif.
Tiga lempeng tektonik tersebut terdiri dari lempeng eurasia, lempeng indo-australia, dan lempeng pasifik.
Oleh karena itu, kita memerlukan langkah-langkah mitigasi bencana untuk mengurangi risiko, baik korban jiwa, kerugian material maupun psikososial.
Sayangnya, sekalipun sudah 75 tahun merdeka, Indonesia belum memiliki sistem mitigasi bencana yang memadai.
Segala hal yang meliputi bencana alam tercantum di dalam Undang-Undang no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam.
Kegiatan Penanggulangan Bencana pada dasarnya adalah serangkaian kegiatan baik sebelum, saat dan sesudah terjadi bencana yang dilakukan untuk mencegah, mengurangi, menghindari dan memulihkan diri dari dampak bencana.
Penanggulangan Bencana merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yaitu serangkaian kegiatan penanggulangan Bencana sebelum, pada saat maupun sesudah terjadinya bencana.
Selama ini masih dirasakan adanya kelemahan baik dalam pelaksanaan penanggulangan Bencana maupun yang terkait dengan landasan hukumnya. Karena belum ada Undang-undang yang secara khusus menangani bencana.
Dalam Peraturan Pemerintah no 21 tahun 2008, tertulis bahwa penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan untuk menjamin terselenggaranya pelaksanaan penanggulangan bencana.
Secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman, risiko, dan dampak bencana.
Mencermati hal-hal tersebut diatas dan dalam rangka memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
Disusunlah Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana yang pada prinsipnya mengatur tahapan bencana meliputi pra bencana, saat tanggap darurat dan pasca bencana.
Peristiwa hukum ini terdiri dari tiga hal. Pertama adalah keadaan baik alamiah, kejiwaan maupun sosial. Kedua, kejadian baik keadaan darurat, kelahiran/kematian maupun kadaluarsa.
Ketiga, sikap dalam tindakan hukum baik itu menuruti peraturan hukum maupun melanggar hukum baik itu di bidang administrasi negara, tata usaha negara, perdata maupun pidana. Undang-Undang ini diharapkan dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana sehingga penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat dilaksanakan secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu.
Force majeure sendiri merupakan peristiwa hukum, karena pada umumnya menimbulkan akibat hukum.
Contohnya, dengan terjadinya banjir atau gempa, maka dapat membuat salah satu pihak tidak dapat memenuhi isi perjanjian terhadap pihak lainnya.
Dengan kata lain, banjir atau gempa menimbulkan akibat hukum. Oleh karena itu, banjir atau gempa adalah peristiwa hukum. Klausul force majeure ini biasanya diatur dalam perjanjian.
Dalam KUH Perdata, force majeure diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245, dalam bagian mengenai ganti rugi karena force majeure merupakan alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
Disarikan dari buku “Penjelasan Hukum tentang Keadaan Memaksa” oleh Rahmat S.S. Soemadipradja, hal. 99 dan 101 maka bisa dibilang peristiwa atau ruang lingkup force majeure yang tersirat dalam pasal-pasal tersebut meliputi tiga hal.
Pertama adalah peristiwa alam seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi. Kedua adalah kebakaran. Ketiga adalah musnah atau hilangnya barang objek perjanjian.
Subjek hukum merupakan semua manusia, termasuk janin, bayi dan orang yang sakit ingatan.
Subjek hukum terdiri dari pribadi kodrati yaitu manusia tanpa terkecuali, pribadi hukum. yang bisa saja berupa keutuhan harta kekayaan seperti wakaf, bentuk susunan relasi seperti perseroan terbatas dan koperasi (badan hukum) dan tokoh yang dikorelasikan seperti pewaris dan ahli waris dalam hukum kewarisan.
Sehingga, baik janin, bayi maupun orang sakit ingatan, termasuk subjek hukum tanpa terkecuali.