JAKARTA - Pemerintah Filipina hingga saat ini belum mengumumkan hasil lawatan Presiden Ferdinand Marcos Jr ke China, pada 3 hingga 6 Januari 2023 lalu.
Kunjungan pemimpin Filipina untuk pertama kalinya ke Negara China ini, disinyalir untuk membahas permasalahan utama antar kedua negara, yakni terkait Pulau Spratly yang ternyata banyak di klaim sepihak oleh Beijing.
 BACA JUGA:Pasok Senjata Berkekuatan Tinggi ke KKB Papua hingga Sekolah Pilot di Filipina, Ini Tampang Anton Gobay
Sebelum kepergian Presiden Ferdinand Marcos Jr, pemerintah Filipina telah memerintahkan militernya untuk memperkuat pasukan di Laut China Selatan, dengan alasan ancaman dari aktivitas China di Kepulauan Spratly.
Perintah tersebut dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan Filipina, setelah muncul laporan media tentang China yang mengklaim lebih banyak tanah di kepulauan besar di Laut China Selatan itu.
Departemen Pertahanan mengatakan telah mengarahkan angkatan bersenjata untuk memperkuat kehadiran negara di Laut Filipina Barat, menyusul aktivitas China yang dipantau di dekat Pulau Spratly dan Pagasa.
"Setiap perambahan di Laut Filipina Barat atau reklamasi fitur di dalamnya merupakan ancaman bagi keamanan Pulau Pagasa," kata Departemen Pertahanan China, seperti dikutip AFP.
Follow Berita Okezone di Google News
Manila menyebut, perairan tepat di sebelah barat Filipina sebagai Laut Filipina Barat, sedangkan Pulau Pagasa, yang terbesar kedua di Spratly, juga dikenal sebagai Pulau Thitu, adalah milik mereka.
Melihat hal ini, Pusat kajian kebijakan dalam dan luar negeri Indonesia, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris), menilai sangat wajar jika Filipina mempersenjatai wilayah terluar mereka, atas dasar kedaulatan negara.
“Pertama, berbicara kedaulatan, apa yang dilakukan Filipina sudah sangat tepat. Jika dibiarkan berlarut, bisa-bisa China menguasai seluruh pulau di Filipina,” kata peneliti senior Centris, AB Solissa kepada wartawan, Jumat (13/1/2023).
Dari informasi sementara, Beijing diketahui telah mulai membangun formasi tanah di bagian utara Spratlys yang kosong, di atas Eldad Reef (Malvar Reef).
Jauh hari sebelumnya, China juga telah melakukan kegiatan reklamasi di daerah tersebut, dimana kegiatan konstruksi serupa berlangsung di Lankiam Cay (Panata Island), Whitsun Reef (Julian Felipe Reef), dan Sandy Cay.
“Dari informasi yang sudah di publish pada sejumlah media, China telah menduduki setidaknya tujuh pulau dan bebatuan, memiliterisasi mereka dengan landasan pacu, pelabuhan, dan sistem radar di Pulau Spratly, jangan dibiarkan," tutur AB Solissa.
Apalagi, lanjut AB Solissa, China sudah berulangkali menginjak-injak kedaulatan Filipina, salah satunya saat Beijing mengambil paksa sisa dan puing roket miliknya dari yang amankan oleh kapal angkatan laut Filipina.
Reklamasi baru juga tengah berlangsung di Anda Reef Eldad Reef, Whitsun Reef, Sandy Cay dan Lankiam Cay Yangsin Sand.
Hal serupa juga dilakukan Beijing di 13km timur laut Pulau Loaita yang diduduki Filipina (Pulau Nanyao,) dan 53,3km dari Subi Reef yang dikuasai China.
Melihat gelagat China tersebut, Direktur Keamanan Siber dan Teknologi Kritis Forum Internasional Pasifik, Mark Manantan mengatakan Presiden Ferdinand Marcos Jr harus memperjelas "garis merah" negara itu dalam kebijakan luar negerinya dengan China, terutama ketika menyangkut Laut Filipina Barat.
Manantan mengatakan bahwa jika Filipina gagal untuk menegaskan keputusan arbitrase selama perjalanan Marcos ke China, hal ini akan merusak momentum aliansi Amerika Serikat-Filipina yang tengah dibangun kedua negara.
“Hobi nyeleneh China sebagai tukang klaim, tentunya merusak bahkan bisa menghancurkan hubungan antar negara di dunia,” tutur AB Solissa.
Centris mengingatkan negara-negara dunia khususnya yang bersinggungan dengan China untuk senantiasa menjaga batas wilayah khususnya mengawasi pulau-pulau terluar mereka, agar tidak di klaim sepihak.
China sendiri telah berulang kali mengklaim Kepulauan Natuna sebagai milik mereka, dimana kapal mereka nekat masuk ke perairan Indonesia.
Seperti yang dilakukan Filipina, Indonesia langsung menempatkan kapal perang, meningkatkan intensitas patroli laut dan udara, serta melakukan diplomasi antar negara, sehingga China akhirnya mau angkat kaki dari Natuna.
“Indonesia, Filipina dan negara-negara lainnya wajib waspada,” pungkas AB Solissa.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.