Pada tahun 1938, ibu kota karesidenan Bengkulu berpenduduk 90.000 orang Indonesia dan 300 orang Belanda. Gaji bulanan yang diterima Dr L.G.M Jacquet sebagai pejabat HPB (hoofd plaatselijk bestuur), sebesar 275 gulden.
Namun karena masa krisis dan pemerintah harus berhemat, gaji dipotong 20 persen atau menjadi 220 gulden. Yang diterima setelah dikurangi pajak dan premi pensiun dan lain-lain, hanya 183 gulden.
Jumlah yang sedikit lebih besar dari jatah rutin yang diterima Bung Karno setiap bulan. Di Bengkulu Soekarno dikenal sebagai tokoh pergerakan yang mencintai seni.
Meski berstatus sebagai orang buangan, kecintaannya pada seni tak padam. Suatu ketika Soekarno berminat dengan alat musik piano yang sedang dilelang. Bung Karno mengajukan penawaran kredit.
Sebagai pejabat bestuur, Jacquet tahu betul kondisi keuangan Soekarno. Ia juga tahu suami Inggit itu memiliki banyak utang. “Khususnya utang beli buku”. Karena itu Jacquet kurang berminat meluluskan kredit yang diminta Soekarno.
Ia tahu keuangan utama Soekarno hanya bersumber dari tunjangan bulanan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda. Namun karena pertimbangan politik, dengan terpaksa Jacquet memenuhi permintaan Soekarno.
Kredit diberikan dan untungnya kekurangan bisa dilunasi. Versi lain menyebut piano itu dibeli oleh Manap Sofianto, primadona tonil (sandiwara) bentukan Soekarno di Bengkulu.