Kemudian ada PSI pimpinan Sutan Sjahrir yang mendapatkan 15 kursi dan Partai Sosialis pimpinan Amir Sjarifuddin yang hanya meraup dua kursi.
Di luar perwakilan partai politik, terdapat wakil rakyat non partai yang jumlahnya juga lumayan besar. Pada masa itu, koalisi politik terhadap jalannya roda pemerintahan berlangsung tidak stabil.
Keputusan kabinet tak lebih dari keputusan pimpinan partai politik yang diambil dalam rapat pimpinan sehari sebelumnya. Dari 16 kelompok politik, yakni termasuk non partai, 13 di antaranya meraih jabatan penting di pemerintahan.
Namun dua partai terbesar, yaitu Masyumi dan PNI yang menjadi penentu stabilitas lembaga negara justru kurang terwakili. Merasa yakin sebagai salah satu organisasi politik langka yang menjadi simpatisan riil di masyarakat, Masyumi hanya bisa menyesali keadaan tersebut.
Dalam perjalanan sejarahnya, perolehan kursi Masyumi mengalami penurunan setelah NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik di pemilu 1955. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan PSI karena sejumlah tokohnya dianggap terlibat gerakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia).
(Awaludin)