
Seputih Banyak ketika saya datang tahun 1963 masih merupakan bekas hutan yang baru dibabat. Kami menempati rumah dinas dengan halaman belakang depan samping bukan main luasnya. Tanah tinggal patok, kira-kira begitu istilahnya. Tapi jangan membayangkan halaman luas itu berupa rerumputan hijau seperti rumah masa kini, apalahi seperti di Amerika. Sejauh mata memandang, kalau saya buka jendela melihat ke belakang yang ada tonggak kayu pohon besar bekas dibakar. Dugaan saya, itu waktu hutan dibabat dengan cara dibakar arena dinilai cepat dan efektif. Selain itu ilalang mengelilingi kami. Tidak heran ular berukuran besar keliatan kemana-mana bahkan masuk rumah.
Kasus paling tidak saya lupakan adalah ketika tiba-tiba ular sebesar paha orang dewasa mendekati saya. Ibu saya yang melihat ada ular besar di belakang saya, di halaman rumah, berlari menarik saya. Ssaya tidak tahu sedang dalam bahaya sehingga meronta. Ibu memaksa seret saya. Ular terus mendekat. Ibu teriak minta tolong, kebetulan ada orang lain mendengar dan ketika dilempar balok ular tidka pergi tetapi tegak menyambut balok. Kemudian lari ke semak-semak ilalang, hilang. Kenangan yang sampai sekarang sangat membekas dalam hidup saya di Seputih Banyak. Saya yang dulu kecil tinggal di daerah Minangkabau, Jakarta, persisnya belakang Pasar Rumput, sering diajak Bapak naik becak lihat Hotel Indonesia tiba-tiba harus berada di alas Seputih Banyak.
Selain ular dan binatang lain yang lumayan perlu diwaspadai di Seputih Banyak ketika itu adalah garong alias rampok. Peristiwa penggarongan sering saya dengar dari pembicaraan orang dewasa yang sering berkumpul di rumah. Sebab ayah merupakan pejabat tinggi (walaupun cuma kepala seksi) di Seputih Banyak sehingga rumah tempat banyak orang berkumpul. Secara kebetulan hanya kami yang memiliki radio transistor merk Sanyo, dibawa langsung dari Jakarta saat pindahan, sehingga banyak tetangga numpang mendengarkan siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Saya sering mendengar pembicaraan para tamu dan sebagian masih saya ingat.
Yang sering menjadi pembicaraan orang dewasa saya dengar dan masih saya ingat adalah Arjo Gembong dan Suroso. Dua nama ini, kalau sekarang, mirip preman yang saling menguasai wilayah. Suatu pagi subuh pintu rumah diketuk seseorang, bapak bangun, saya ikut bangun melihat bapak menemui pengetuk pintu. Kemudian bapak masuk lagi berganti baju hendak keluar rumah. Ibu yang was-was melihat bapak serius kemudian bertanya, ada apa? Suroso dibunuh, jawab bapak, kemudian pergi bersama tamu tadi. Siapa pembunuhnya saya tidak mendengar lagi. Tapi Arjo Gembong tetap ada sampai pecah peristiwa PKI tahun 1965 dan kami pindah ke Kota Metro dengan kehidupan normal. Saya kemudian sekolah sampai tamat dari SMA Yos Sudarso dan bapak sebelum pensiun menjabat Kepala Kantor Departemen Transmigrasi Lampung Tengah di Metro.
Meskipun Presiden Jokowi hanya melintas di pinggiran Seputih Banyak tetapi saya dan pastinya banyak orang di sana berharap ada perubahan terhadap kondisi sarana yang selama ini buruk. Lampung dilintasi jalan tol trans Sumatera seharusnya menjadi sarana masuk para wisatawan dari luar Lampung, baik kota-kora di Jawa maupun seputar Pulau Sumatera karena kemudahan akses transportasi. Namun jika jalan pendukuang sekitar trans Sumatera buruk tentu membuat enggan para pelancong masuk Lampung, padahal Seputih Raman, Seputih Banyak dan Kota Metro merupakan tujuan wisata yang menarik dan murah.
