Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kebijakan Perubahan Status Pendemik Covid-19 Menjadi Endemik

Opini , Jurnalis-Sabtu, 17 Juni 2023 |15:30 WIB
Kebijakan Perubahan Status Pendemik Covid-19 Menjadi Endemik
Ilustrasi (Foto: Dok. Okezone)
A
A
A

MEDIA massa memberitakan bahwa pemerintah Indonesia sedang mempersiapkan perubahan status severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) atau COVID-19 dari pandemik (wabah) menjadi endemik beberapa hari kedepan. Keputusan ini akan mempersepsikan COVID-19 bukan lagi ancaman tetapi akan menjadi penyakit yang biasa di dalam masyarakat.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1984, wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada suatu waktu di daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka1 Dengan pertimbangan pemerintah, jumlah penambahan penderita baru COVID-19 sudah melandai maka COVID-19 tidak lagi bersifat wabah sehingga pantas dirubah statusnya menjadi endemik. Endemik adalah suatu penyakit masih ada di masyarakat namun tidak lagi mengkhawatirkan2.

Sebelum terjadinya pandemik COVID-19, sejarah mencatat bahwa pernah terjadi pandemik yang serupa yaitu pandemik influenza yang disebabkan oleh virus A/H1N1 atau flu spanyol tahun 1918. Pandemik ini dengan cepat menyebar ke seluruh dunia dan menewaskan 20-40 juta penduduk dunia3.

Seiring berjalannya waktu, terjadi peningkatan imunitas masyarakat terhadap flu spanyol sehingga penyakit ini menjadi penyakit biasa. Saat ini, seseorang rata-rata 2-3 kali bisa terkena flu dalam setahun, salah satunya adalah flu spanyol. Artinya bahwa awalnya penyakit flu ini merupakan penyakit pandemik sekarang sudah menjadi endemik. Penyakit ini dapat ditemukan kapan saja dan dimana saja namun tidak menimbulkan malapetaka lagi.

Perubahan sifat suatu penyakit dari pandemik menjadi endemik adalah sebuah niscayaan5, pasti terjadi, namun berapa lama perubahan tersebut sangat tergantung dari upaya untuk menciptakan herd immunity atau imunitas (kekebalan) populasi dari suatu penyakit di komunitas 4. Kejadian Pandemik flu spanyol 1918 memberikan pembelajaran yang berharga kepada dunia kesehatan masyarakat bagaimana caranya membangun herd immunity agar tercipta imunitas populasi di komunitas sehingga dapat menghindari korban jiwa lebih banyak6.

Ada dua ukuran yang dijadikan pertimbangan untuk menetapkan status pandemik menjadi endemik yaitu imunitas populasi dan karakteristik agen penyakit penyebab COVID-19. Ukuran yang kedua lebih karena dampak dari tercapainya ukuran pertama. Terpenuhinya kedua ukuran memberikan argumentasi yang kuat dalam menetapkan pandemik menjadi endemik.

1. Imunitas populasi

Menurut para epidemiolog, imunitas populasi dapat tercapai apabila tercapai jumlah imunitas individu antara 70-90% dalam suatu populasi7. Imunitas individu adalah kemampuan tubuh manusia untuk melawan atau menolak agen penyakit yang masuk kedalam tubuh sehingga tubuh tidak mengalami sakit atau terhindar dari keparahan penyakit. Imunitas pada individu secara komunal akan membentuk imunitas populasi atau herd imunitas.

Herd immunity adalah kondisi sebagian besar populasi (70-90%) dalam masyarakat sudah imun (kebal) terhadap agen penyakit (virus) penyebab COVID-19 sehingga agen penyakit yang menginfeksi tubuh manusia tidak menyebabkan penyakit. Manfaat herd imunity mencegah agen penyakit berpindah dari orang satu ke orang lain sehingga transmisi penularan penyakit akan terhenti. Ada dua kondisi yang menguntungkan, pertama, kelompok yang terinfeksi tidak lagi menjadi sakit karena terbangun imunitas, kedua, kelompok yang belum terinfeksi akan aman dari keterpaparan agen penyakit karena tidak ada lagi agen penyakit yang dapat menyebar.

Herd immunity mempunyai peranan kunci dalam peralihan dari pandemik COVID-19 ke endemik. Membangun herd imunity dapat dilakukan dengan dua mekanisme yaitu membentuk imunitas aktif dan imunitas pasif pada individu8. Imunitas aktif adalah imunitas yang didapatkan dari tubuh diri sendiri seseorang sementara imunitas pasif adalah imunitas yang didapatkan dari luar tubuh seseorang.

Sejarah imunisasi adalah sejarah panjang yang dimulai dengan imunisasi untuk mencegah cacar pada abad ke-10, kemudian berkembang menjadi imunisasi terapeutik aktif dan pasif di abad ke-19. Pemberian imunogen kepada tubuh seseorang yang berasal dari agen penyebab penyakit yang “dilemahkan” kemampuannya adalah bentuk imunisasi aktif. Sementara pemberian suatu antibodi yang sudah terbentuk dari seseorang penderita penyakit kepada orang sehat adalah bentuk imunisasi pasif8. Bagaimana mekanisme imunitas aktif dan pasif membentuk herd imunity?

Imunitas aktif

 

Imunitas aktif mulai terjadi di dalam tubuh karena adanya keterpaparan agen penyakit. Ada dua mekanisme keterpaparan tubuh oleh agen penyakit yaitu terjadi secara alami dan non alami. Secara alami terjadi apabila seseorang kontak dan terpapar dari orang sakit sehingga agen penyakit masuk ke dalam tubuh orang sehat kemudian tubuh membentuk imunitas. Non alami terjadi apabila secara sengaja memasukkan agen penyakit yang sudah dilemahkan virulensinya ke dalam tubuh melalui vaksinasi.

Rentang waktu status pandemik memberikan dampak tehadap imunitas aktif alami, semakin lama waktu pandemik maka akan semakin besar peluang terbangun imunitas aktif. Ini dapat dipahami karena semakin panjang waktu pandemik maka semakin besar peluang seseorang untuk kontak dengan penderita. Dalam kondisi kontak dengan penderita namun dosis infeksi dari agen penyakit tidak mencukupi untuk menimbulkan infeksi atau tidak pathogen memberikan peluang kepada tubuh untuk membentuk kekebalan dalam melawan agen penyakit. Pandemik COVID-19 sudah berjalan selama 4 tahun maka peluang teciptanya imunitas aktif pada setiap individu semakin besar.

Pemberian vaksin (imunisasi) kepada individu adalah pemberian imunitas non alami. Imunitas didapatkan dari hasil rekaya dengan memasukkan agen penyakit yang telah dilemahkan virulensinya9. Dalam kondisi ini, tubuh dapat membentuk imunitas untuk melawan agen penyakit sudah kondisi sudah lemah yang masuk ke dalam tubuh. Semakin sering diberikan vaksinasi maka peluang seseorang mendapatkan imunitas semakin besar, bahkan bisa sampai pada status kekebalan penuh (booster). Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dengan mewajibkan setiap penduduk untuk mendapatkan imunisasi COVID-19 merupakan langkah yang tepat dalam menciptakan imunitas aktif. 

Imunitas Pasif

Keberhasilan pemerintah meningkatkan angka kesembuhan penderita COVID-19 berdampak terciptanya imunitas pasif kepada penderita yang telah sembuh, sekaligus memutus mata rantai penularan virus COVID-19 dari penderita ke orang lain. Intervensi pengobatan memberikan dampak terbentuknya imunitas, sehingga semakin banyak orang yang sembuh dari COVID-19 maka semakin besar peluang terbentuknya imunitas pasif.

Salah satu bentuk intervensi adalah terapi plasma konvalesen. Terapi plasma konvalesen adalah memberikan plasma kepada orang yang sakit, plasma tersebut berasal dari plasma penderita COVID-19 yang sudah baru saja sembuh.

Plasma konvalesen dapat menetralisasi patogenitas agen penyakit dengan menstransfer antibodi yang terkandung dalam konvalesen kepada penderita. Membangun imunitas pasif dengan cara ini sudah dilakukan pada saat terjadinya pandemik flu Spanyol tahun 1918 dan dianggap berhasil selain menurunkan tingkat kematian sekaligus menciptakan imunitas10.

2. Karakteristik agen penyakit

Karakteristik agen penyakit menentukan tingkat “keganasan” dari agen menyebabkan terjadinya penyakit. Karakteristik agen penyakit sebenarnya dampak dari herd imunity. Semakin tinggi tingkat herd imunity maka semakin rendah “keganasan” dari agen penyakit. Karakteristis agen penyakit diukur dengan 3 hal yaitu tingkat infektivitas, patogenitas dan virulensi11.

Infektivitas adalah seberapa besar proporsi dari orang yang terpapar virus COVID-19 menajdi terinfeksi. Semakin sedikit orang yang terinfeksi dari jumlah orang yang terpapar maka semakin rendah infektivitas agen. Kondisi ini dapat diketahui dari hasil pemeriksaan skrening pada kelompok berisiko terinfeksi karena terpapar agen COVID-19. Terpapar agen COVID-19 apabila pernah kontak dengan penderita.

Patogenisitas adalah seberapa besar proporsi orang yang terinfeksi kemudian berkembang menjadi sakit. Semakin sedikit orang yang sakit dari jumlah orang yang terinfeksi maka semakin rendah patogenitas agen. Kondisi ini dapat diketahui prevalensi orang yang positif COVID-19 dalam suatu populasi semakin rendah. Data ini juga dapat diketahui seberapa banyak penderita baru COVID-19 yang mendatangi fasilitas pelayanan kesehatan untuk berobat.

Virulensi adalah seberapa besar proporsi orang yang sakit kemudian berkembang meniadi sakit parah atau meninggal. Semakin sedikit orang sakit yang berkembang penyakit menjadi parah atau semakin banyak orang yang sembuh maka semakin rendah virulensi agen. Kondisi ini dapat diketahui proporsi tingkat kesembuhan penderita COVID-19 yang di rawat di rumahsakit semakin tinggi yang dapat dapat dilihat dengan kecilnya case fatality rate (angka kematian).

Setidaknya ada beberapa fakta progresivitas pandemic COVID-19 yaitu data penderita baru COVID-19 yang semakin landai, tingkat kesembuhan semakin tinggi dan capaian target imunisasi yang baik, memberikan argumentasi kepada pemerintah untuk memutuskan bahwa pandemic COVID-19 dapat beralih ke endemik COVID-19 di Indonesia.

Penulis: Lukman Waris

Epidemiolog, Dosen Pasca Sarjana Universitas Faletehan Banten,

Alumni Doktor Epidemiologi Universitas Indonesia Jakarta

Referensi

1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1984 tentang wabah penyakit

2. Sumiarto, B., & Budiharta, S. (2021). Epidemiologi veteriner analitik. UGM PRESS.

3. Patterson, K. D., & Pyle, G. F. (1991). The geography and mortality of the 1918 influenza pandemic. Bulletin of the History of Medicine, 65(1), 4-21.

4. Randolph, H. E., & Barreiro, L. B. (2020). Herd immunity: understanding COVID-19. Immunity, 52(5), 737-41.

5. Servitje, L., & Nixon, K. (2016). The making of a modern endemic: An introduction. Endemic: Essays in contagion theory, 1-17

6. Mills, C. E., Robins, J. M., & Lipsitch, M. (2004). Transmissibility of 1918 pandemic influenza. Nature, 432(7019), 904-6

7. Wong, R. S. (2021). COVID-19 vaccines and herd immunity: Perspectives, challenges and prospects. The Malaysian journal of pathology, 43(2), 203-17.

8. Baxter, D. (2014). Active and passive immunization. Human vaccines & immunotherapeutics, 10(7), 2123-9.

9. Zeitlin, L., Cone, R. A., Moench, T. R., & Whaley, K. J. (2000). Preventing infectious disease with passive immunization. Microbes and infection, 2(6), 701-8

10. Klasse, P. J., & Moore, J. P. (2020). Antibodies to SARS-CoV-2 and their potential for therapeutic passive immunization. Elife, 9, e57877

11. Anderson, R. M., & May, R. M. (1991). Infectious diseases of humans: dynamics and control. Oxford university press.

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement