Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Penegakan Hukum Lingkungan yang Kehilangan Arah

Opini , Jurnalis-Senin, 08 Desember 2025 |14:45 WIB
Penegakan Hukum Lingkungan yang Kehilangan Arah
Guru Besar Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan IPB, Sudarsono Soedomo
A
A
A

SETIAP bencana lingkungan besar di Indonesia hampir selalu diikuti pola yang sama: sorotan media, kemarahan publik, dan desakan agar pelaku segera dihukum. Dalam situasi seperti ini, otoritas lingkungan hidup bersama aparat penegak hukum bergerak cepat. Dari kejauhan, ini tampak sebagai ketegasan negara. Namun jika dicermati lebih jujur, kecepatan ini kerap menggantikan ketelitian.

Masalah utama penegakan hukum lingkungan di Indonesia hari ini bukan kekurangan niat, melainkan kekeliruan pendekatan. Hukum terlalu sering dijalankan sebagai respons terhadap tekanan emosi, bukan sebagai instrumen pencari kebenaran. Akibatnya, proses hukum berubah dari upaya memahami sebab-musabab menjadi mekanisme mencari pihak yang “paling cocok” untuk dipersalahkan.

Kasus banjir bandang yang membawa kayu gelondongan menunjukkan persoalan ini dengan jelas. Kayu yang hanyut memang dapat memperparah dampak banjir—menyumbat jembatan, memperbesar daya rusak aliran, dan merusak infrastruktur. Namun menjadikan pemilik kayu sebagai tersangka utama tanpa terlebih dahulu mengurai rangkaian sebab secara menyeluruh adalah lompatan logika yang berbahaya.

Dalam era cuaca ekstrem, peristiwa non-linear semakin sering terjadi. Aktivitas yang legal dan lazim dalam kondisi normal dapat berubah menjadi sumber risiko akibat hujan ekstrem atau banjir di luar pola historis. Dalam situasi seperti ini, kepemilikan tidak otomatis berarti kesalahan, apalagi kejahatan. Hukum semestinya memeriksa konteks, bukan sekadar objek.

Sayangnya, model penegakan hukum lingkungan kita cenderung reduksionis. Kompleksitas sebab disederhanakan menjadi satu variabel tunggal yang mudah dihukum. Pertanyaan tentang kegagalan tata ruang, lemahnya pengelolaan daerah aliran sungai, minimnya mitigasi banjir, atau ketidaksiapan menghadapi cuaca ekstrem jarang menjadi bagian dari proses hukum.

Ketimpangan pendekatan ini tampak sangat jelas dalam penanganan kebakaran lingkungan. Doktrin strict liability kerap diterapkan secara serba otomatis terhadap pemegang izin atau pemilik lahan resmi. Lahan terbakar dianggap bukti kesalahan, meskipun asal api, arah rambatan, dan kondisi meteorologis tidak dikaji secara serius. Beban pembuktian secara faktual bergeser ke pemilik lahan, sementara negara tampil seolah netral dan bebas dari kesalahan.

Yang luput dari sorotan adalah fakta bahwa kebakaran juga sangat sering terjadi di areal tanpa izin, areal terbengkalai, atau wilayah yang secara de facto tidak memiliki penanggung jawab hukum yang jelas. Peristiwa seperti ini berulang hampir setiap tahun, namun nyaris tidak pernah diikuti proses hukum yang serius. Tidak ada penetapan tersangka, tidak ada penelusuran tanggung jawab, dan tidak ada koreksi tata kelola.

 

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement