Sentimen publik terhadap korporasi memperbesar kecenderungan tersebut. Ketika terjadi bencana, korporasi mudah dipersonifikasikan sebagai pelaku jahat. Narasi ini memang memuaskan emosi publik dan relatif aman secara politik. Namun keadilan tidak pernah lahir dari narasi yang nyaman. Banyak pelaku usaha, termasuk yang taat aturan, akhirnya ditempatkan sebagai tersangka bukan karena kesalahan faktual, melainkan karena mereka berada di ujung hilir dari sistem kebijakan yang gagal mengelola risiko.
Ironisnya, meskipun hukuman semakin sering dijatuhkan, kualitas lingkungan tidak menunjukkan perbaikan sebanding. Banjir tetap berulang, kebakaran tetap terjadi. Artinya, penegakan hukum gagal menjalankan fungsi pencegahan. Ia sibuk menutup luka, tetapi membiarkan penyakit tetap berkembang.
Ini terjadi karena penegakan hukum lingkungan dipisahkan dari audit kebijakan. Setiap bencana seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh: apakah kebijakan yang diterbitkan realistis terhadap daya dukung lingkungan, apakah standar mitigasi memadai, dan apakah negara sungguh-sungguh menjalankan tanggung jawabnya sebagai pengelola risiko, bukan sekadar sebagai penghukum.