Trowulan dihancurkan pada 1478 saat Girindrawardhana berhasil mengalahkan Kertabumi, sejak saat itu Ibu Kota Majapahit berpindah ke Daha.
Sementara itu, Kanjeng Pangeran Norman Hadinegoro, Pemerhati Budaya Adiluhung menerangkan bahwa sebuah catatan dari China abad ke-15 menggambarkan istana Majapahit sangat bersih dan terawat dengan baik.
Disebutkan bahwa istana dikelilingi tembok bata merah setinggi lebih dari 10 meter serta gapura ganda. Bangunan yang ada dalam kompleks istana memiliki tiang kayu yang besar setinggi 10-13 meter, dengan lantai kayu yang dilapisi tikar halus tempat orang duduk.
"Atap bangunan istana terbuat dari kepingan kayu (sirap), sedangkan atap untuk rumah rakyat kebanyakan terbuat dari ijuk atau jerami," ucapnya.
Sebuah kitab tentang etiket dan tata cara istana Majapahit menggambarkan ibu kota sebagai; "Sebuah tempat di mana kita tidak usah berjalan melalui sawah".
Relief candi dari zaman Majapahit tidak menggambarkan suasana perkotaan, akan tetapi menggambarkan kawasan permukiman yang dikelilingi tembok.
Istilah 'kuwu' dalam Negarakertagama dimaksudkan sebagai unit permukiman yang dikelilingi tembok, dimana penduduk tinggal dan dipimpin oleh seorang bangsawan.
"Pola permukiman seperti ini merupakan ciri kota pesisir Jawa abad ke-16 menurut keterangan para penjelajah Eropa," paparnya.
Diperkirakan ibu kota Majapahit tersusun atas kumpulan banyak unit permukiman seperti ini. Menurut Prapanca dalam kitab Negarakertagama; keraton Majapahit dikelilingi tembok bata merah yang tinggi dan tebal. Didekatnya terdapat pos tempat para punggawa berjaga.
Kompleks istana tempat tinggal raja terletak di sisi timur lapangan ini, berupa beberapa paviliun atau pendopo yang dibangun di atas landasan bata berukir, dengan tiang kayu besar yang diukir sangat halus dan atap yang dihiasi ornamen dari tanah liat.
(Susi Susanti)