Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Berawal dari Persahabatan, Broer Tumbelaka Selesaikan Pemberontakan Permesta dengan Damai

Rahman Asmardika , Jurnalis-Senin, 31 Juli 2023 |06:01 WIB
Berawal dari Persahabatan, Broer Tumbelaka Selesaikan Pemberontakan Permesta dengan Damai
A
A
A

DIPLOMASI menjadi salah satu cara terbaik untuk menyelesaikan konflik antara pihak-pihak yang bertikai. Hal ini terutama terlihat pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia yang diwarnai dengan berbagai pemberontakan, seperti yang dikobarkan oleh gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Semesta (PRRI/Permesta).

Pemberontakan Permesta berhasil diselesaikan melalui Peristiwa Malenos, 4 April 1961, berkat hubungan antara dua sahabat: Frits Johanes (Broer) Tumbelaka dan Letkol D.J. Somba.

Pemberontakan Permesta berawal pada 2 Maret 1957 dari ketidakpuasan terhadap pemerintahan Kabinet Djuanda. Namun, gerakan yang dipimpin oleh D.J. Somba, Alexander Evert Kawilarang serta Ventje Sumual itu akhirnya pecah pada Februari 1961.

Penyebab pecahnya gerakan itu adalah karena Permesta menolak mendukung berdirinya Republik Persatuan Indonesia (RPI). RPI tidak hanya ingin menggabungkan kekuatan PRRI/Permesta dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kahar Mudzakar di Makassar tetapi juga ingin memisahkan diri dari RI.

Hal ini tidak diseukai oleh Somba dan Kawilarang, kecuali Sumual.

Dikutip dari buku “Permesta dalam Romantika, Kemelut dan Misteri”, di tengah situasi tersebut, Gubernur Sulawesi Utara Broer Tumbelaka membuka pertemuan pada medio Maret 1961 dan sejak saat itu, terus membuka “pintu belakang” demi menyelesaikan konflik pemerintah dengan Permesta.

Pertemuan yang tepatnya berlangsung di Desa Lahendong itu, sedianya tak hanya dihadiri Somba dan Tumbelaka, tapi juga dihadiri sejumlah warga desa dan masing-masing pasukan. Bahkan, pasukan Permesta dan TNI saling berangkulan – tanda rindu persatuan.

Keberhasilan Tumbelaka menjalin kontak dengan Somba, tak lepas dari hubungan persahabatan mereka yang belum putus, semenjak masih berdinas dalam tubuh TNI di Surabaya.

Singkat cerita, dari pertemuan-pertenuan itu, penyelesaian konflik bisa terjadi pada 4 April 1961 di Malenos, Minahasa. Permesta diwakili oleh Somba dan pemerintah diwakili Pangdam XIII Merdeka, Kolonel Sunandar Priyosudarmo.

Somba juga mengajak Kawilarang untuk berdamai lewat pesan kawat. Empat hari kemudian, Kawilarang datang dengan berjalan kaki.

“Di bawah bendera merah putih ini terlalu banyak kawan sudah jadi korban. Bendera ini sama haknya dengan (Presiden) Soekarno. Bendera ini kita punya. Itu dan Pancasila tidak akan dilepaskan,” tegas Kawilarang.

Semua pengikut Permesta diberi amnesti dan abolisi lewat Keppres 322/1961. Sementara Sumual yang sempat ikut gerakan RPI, akhirnya menyerahkan diri pada medio Oktober 1961 dan juga ikut diampuni – kecuali para anasir RPI yang berafiliasi dengan DI/TII.

Sebagaimana konflik di manapun, gerakan ini menimbulkan derita pada rakyat. Menurut keterangan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Mayjen Abdoel Haris Nasution, sekira 15 ribu korban jiwa di Minahasa, 394 desa di seluruh Sulawesi Tengah dan Utara musnah. Sekitar 2.499 nyawa prajurit TNI melayang dan di pihak PRRI/Permesta 22.174 tewas.

(Rahman Asmardika)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement