Ribuan orang tewas ketika dua bendungan jebol setelah Badai Daniel pada Minggu (10/9/2023) menyapu seluruh lingkungan hingga ke Laut Mediterania.
Para penyintas menggambarkan pelarian yang mengerikan dan orang-orang tersapu di depan mata mereka.
Situasi politik yang terfragmentasi di negara ini dikatakan mempersulit pemulihan. Libya terpecah menjadi dua pemerintahan yang saling bersaing – yaitu pemerintahan yang didukung PBB yang berbasis di ibu kota Tripoli dan pemerintahan saingan yang didukung Mesir yang berbasis di Benghazi.
Ada dugaan luas bahwa dua bendungan yang runtuh tidak dirawat dengan baik, dan ada seruan untuk segera melakukan penyelidikan mengenai penyebab banjir bisa menjadi bencana besar.
Ada juga laporan yang saling bertentangan mengenai apakah – dan kapan – orang diminta meninggalkan rumah mereka. Warga mengatakan kepada BBC bahwa mereka menerima pesan yang beragam dari kedua pemerintah yang bersaing mengenai apakah mereka harus tetap tinggal atau pergi.
Guma El-Gamaty, seorang akademisi Libya dan ketua Partai Taghyeer, mengatakan pada Kamis (14/9/2023) bahwa orang-orang yang berada di zona banjir seharusnya dievakuasi, namun sebaliknya mereka diminta untuk tetap tinggal di dalam rumah dan tidak keluar rumah.
Namun wali kota Derna mengatakan kepada saluran berita Arab Al-Hadath bahwa dia secara pribadi memerintahkan evakuasi dari kota tersebut tiga atau empat hari sebelum bencana terjadi. BBC belum dapat memverifikasi klaim Abdulmenam al-Ghaithi.