JAKARTA - Raja Majapahit Dyah Wijayakumara atau Sri Rajasawarddhana alias Bhre Pamotan (1451 -1453 M) mengalami peristiwa tragis yang menyedihkan di akhir hidupnya.
Hal ini buntut dari konflik tak henti-henti antara putra-putra Sri Prabu Kertawijaya. Ketegangan yang menggoyang kerajaan dimulai pasca Perang Paregreg (1404-1406 M).
“Tidak sampai dua tahun berkuasa, di tengah konflik perebutan kekuasaan dengan putra-putra Sri Prabu Kertawijaya, Sri Rajasawarddhana hilang ingatan,” demikian dikutip dari buku Atlas Wali Songo (2016).
Dyah Wijayakumara alias Bhre Pamotan naik tahta setelah menggantikan Sri Prabu Kertawijaya atau Bhre Tumapel (1447-1451) yang mangkat karena terbunuh.
Sesuai kitab Pararaton, jenazah Kertawijaya didarmakan di Kertawijayapura, yakni berwujud sebuah makam tua di samping makam putri Campa, Darawati, istri Sri Prabu Kertawijaya. Bhre Pamotan dinobatkan sebagai Raja Majapahit di Keling-Kahuripan, yakni terletak di pedalaman Daha Kediri.
Penobatan Bhre Pamotan dicurigai telah terjadi ketidakberesan di pusat lingkaran kekuasaan Majapahit. “Menunjukkan adanya ketidakberesan, mengingat Dyah Wijayakusuma Bhre Pamotan hanya berkedudukan sebagai menantu Sri Prabu Kertawijaya”.
Bhre Pamotan tercatat memerintah Majapahit secara singkat. Entah apa yang terjadi. Tidak sampai dua tahun berkuasa, Bhre Pamotan tiba-tiba mengalami hilang ingatan.
Sebuah peristiwa tragis terjadi di tengah acara yang digelar untuk menghibur raja. Bhre Pamotan yang berada di atas perahu yang mengarungi tengah segara (lautan), mendadak hilang kendali.
“Ia melompat dan mati tenggelam,” begitu dikutip dari Atlas Wali Songo. Peristiwa kematian Raja Majapahit Bhre Pamotan yang mati tenggelam di segara diabadikan ke dalam sebuah nama.
Raja Majapahit itu mendapat nama anumerta Bhre Pamotan Sang Sinagara (Bhre Pamotan yang melempar diri ke segara) dan abu jenazahnya dicandikan di Sepang.
BACA JUGA:
“Ia meninggalkan empat orang putera dan seorang puteri, yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan, Bhre Kretabhumi dan Parameswari Lasem”.
Kitab Pararaton mencatat, sepeninggal Bhre Pamotan, Kerajaan Majapahit selama tiga tahun (1453-1456 M) tidak memiliki raja. Situasi itu berakhir setelah Bhre Wengker pada 1456 M naik tahta.
(Nanda Aria)