Hal itu yang membuat orang-orang PKI di Kediri, yakni terutama di Mojo dan Kras berani leluasa menebar teror. Bahkan sejak menjelang peristiwa G30S PKI, intensitas teror, yakni terutama kepada kalangan pesantren semakin meningkat.
Akibat teror, jumlah santri di Ponpes Ploso yang semula 600 orang menyusut tinggal 22 orang. Sementara meski kalah jauh dari sisi jumlah, para santri yang ditugaskan menghadang orang-orang PKI tidak merasa gentar.
Sebelum berangkat ke medan tempur, 19 santri yang dipimpin Kiai Ghozali Burdah lebih dulu digembleng. Pertempuran tidak seimbang antara 19 santri Ponpes Ploso melawan ribuan orang PKI itu pun, meletus.
Sebanyak 19 santri bersenjatakan pedang. Sedangkan ribuan orang-orang PKI bersenjata panah dan bom molotov. Ajaib. Tidak satupun brondongan panah dan bom molotov yang sanggup mencederai para santri.
Sebaliknya, 8 orang anggota PKI tewas dalam pertempuran. Menghadapi sabetan pedang 19 santri, ribuan orang PKI sontak memilih mundur dengan sebagian lainnya kocar-kacir, lari menyelamatkan diri.
Begitu juga saat bertempur di kaki Gunung Wilis, 19 santri Ponpes Ploso juga berhasil membuat ribuan orang-orang PKI berhamburan menyelamatkan diri. Sebanyak 11 orang PKI tewas dan mereka yang luka-luka tidak terhitung jumlahnya.
Melihat pemandangan itu Komandan Koramil Mojo Letnan Sunaryo yang berdiri di belakang santri hanya bisa geleng-geleng kepala, nyaris tidak percaya. Setelah peristiwa itu, orang-orang PKI di Kediri tidak berani lagi menyerang pesantren.
“Kiai Ghozali (Ghozali Burdah) berkesimpulan, bahwa senjata paling ampuh dalam menghadapi musuh adalah keberanian”.
(Awaludin)