JAKARTA - Sejumlah wilayah di Tanah Air ikut dilanda wabah Flu Spanyol pada 1918, demikian kata sejarawan Ravando Lie.
Di Hindia (kini Indonesia), pandemi itu terbawa masuk melalui jalur laut, entah lewat kapal penumpang maupun kapal kargo.
Pemerintah Hindia Belanda mencatat, virus ini pertama kali dibawa oleh penumpang kapal dari Malaysia dan Singapura, lalu menyebar lewat Sumatera Utara.
Investigasi polisi laut terhadap kapal penumpang Maetsuycker, Singkarah, dan Van Imhoff mendapati beberapa penumpang positif terjangkit virus tersebut. Virus bahkan menjangkiti seluruh penumpang dan awak kapal Toyen Maru yang baru tiba di Makassar dari dari Probolinggo.
Ketika virus itu mulai menyerang kota-kota besar di Jawa pada Juli 1918, pemerintah dan penduduk tidak memperhatikan.
Mereka tidak sadar virus tersebut akan menjalar dengan cepat dan mengamuk dengan sangat ganas. Terlebih, saat itu perhatian pemerintah lebih terfokus pada penanganan penyakit-penyakit menular lain seperti kolera, pes, dan cacar.
Mayoritas penduduk bumiputra juga memiliki pandangan serupa terkait pandemi Flu Spanyol. Mereka meyakini bahwa penyakit itu disebabkan oleh hadirnya roh halus atau hantu dalam tubuh mereka.
“Langkah penanggulangan yang mereka lakukan otomatis pun difokuskan untuk mengusir hantunya, bukan si influenza-nya,” tulis Ravando dalam bukunya, Perang Melawan Influenza: Pandemi Flu Spanyol di Indonesia masa Kolonial 1918-1919.
Di Yogyakarta, pihak kraton memutuskan menggelar ritual arak-arakan melawan Flu Spanyol pada Desember 1918. Dalam ritual itu, berbagai benda pusaka kraton diarak mengelilingi kota.