JAKARTA - Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) atau sekarang Badan Intelijen Negara (BIN) Dr Soebandrio pernah menggertak NU. Hal itu terkait bentrok antara PKI BTI dan Pemuda Rakyat dengan Ansor NU di Kediri, Jawa Timur.
Soebandrio merupakan tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun, Soebandrio yang saat itu juga menjabat Wakil Perdana Menteri (Waperdam) memiliki kebijakan yang lebih condong ke PKI.
Di depan pimpinan Ansor dan PBNU Subandrio terang-terangan mengatakan Ansor NU tidak akan mampu melawan orang-orang PKI karena PKI menguasai intelijen. Ia justru meminta Ansor NU ikut menjaga ketenangan dan tidak terlalu agresif menghadapi PKI.
“Di bidang intelijen saudara-saudara kalah dengan PKI. Orang PKI tahu di mana saudara sekarang sedang berada. Bahkan tahu di mana Pak Idham Chalid (Ketua PBNU) dan tokoh-tokoh lainnya berada. Tetapi saudara dan tokoh NU tidak tahu di mana DN Aidit berada. Saudara harus mengerti hal ini,” kata Subandrio seperti dikutip dari buku Benturan NU PKI 1948-1965 (2013).
Kebijakan intelijen Subandrio juga banyak memojokkan Angkatan Darat. Isu Dewan Jenderal, yakni terkait adanya sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat yang tidak loyal kepada Presiden Soekarno atau Bung Karno, juga datang darinya.
Sementara itu, dilansir dari buku Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar (2018), Subandrio pada Kongres Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Serbupri) telah menggelorakan istilah senam revolusioner.
Jelang peristiwa G30S PKI, kaum buruh didorong untuk lebih aktif menggelar aksi massa.
“Ia menyerukan kepada kaum buruh untuk menggunakan aksi-aksi sebagai senam revolusioner, agar otot-otot dan tulang-tulang gerakan buruh menjadi kuat, untuk kemudian naar de politieke macht, menuju kekuatan politik,” demikian dikutip dari Jenderal Yoga Loyalis di Balik Layar.