“Sangat sulit untuk sampai ke sini, menakutkan,” kata Tamara. “Tetapi kami berdoa, kami benar-benar berdoa. Kemudian Tuhan membantu kami,” lanjutnya.
Prajurit yang dia bantu, yang saat itu menjadi wajib militer, sekarang tinggal di Yerevan. Ibunya memberi tahu tim BBC bahwa dia telah pulih secara fisik, meskipun beberapa pecahan peluru yang mengenai dia bersarang di kepalanya.
Namun dia berjuang secara psikologis untuk mengatasi apa yang dilihatnya. Dia menyebutkan kematian banyak teman putranya, juga tentara muda.
Itulah konteks krisis pengungsi ini. Pertarungan bertahun-tahun, pertumpahan darah dan permusuhan yang mendalam.
Kisah serupa terjadi di Azerbaijan. Ratusan ribu warga Azeri pernah mengungsi dari sebidang tanah yang sama yang disengketakan. Banyak tentara terbunuh. Ada banyak sejarah.
Tim BBC mencoba berbicara dengan warga etnis Armenia, yang kini menjadi pengungsi, yang berjuang membela Nagorno-Karabakh pada bulan ini atau pada perang-perang yang lalu. Tidak ada yang mau berkomentar di depan umum. Seorang laki-laki mengatakan kepada saya bahwa hal itu terjadi karena dia malu atas kekalahan ini, setelah bertahun-tahun memperjuangkan hak untuk hidup di tanah tersebut.
Setiap orang yang saya temui mengira mereka telah meninggalkan daerah kantong itu untuk selamanya.