RIBUAN masyarakat di daerah Mandor, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, dibantai oleh Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun), pada 28 Juni 1944. Tragedi kemanusian itu dikenal sebagai Peristiwa Mandor atau yang dikenal juga dengan istilah Oto Sungkup (Mobil Penutup Kepala).
Pihak Jepang saat itu mencurigai bahwa di Kalimantan Barat dan Selatan terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas feodal lokal, cendikiawan, ambtenar, politisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, hingga rakyat jelata, dari berbagai etnik, suku maupun agama.
Peristiwa Mandor terjadi akibat ketidaksukaan pihak Jepang waktu itu terhadap para pemberontak yang ada di Kalimantan Barat dikarena ketika itu Jepang ingin menguasai sumber daya alam yang ada di bumi Kalimantan Barat.
Sebelum terjadi peristiwa Mandor, juga terdapat peristiwa Cap Kapak, di mana kala itu tentara Jepang secara paksa mendobrak pintu rumah masyarakat dikarenakan mereka ingin menakut-nakuti masyarakat agar tidak berani untuk melakukan pemberontakan.
Jepang telah menyusun rencana untuk memberangus semangat perlawanan rakyat Kalimantan Barat kala itu. Di sebuah koran harian Jepang mengungkapkan rencana tentara Negeri Matahari Terbit tersebut untuk membungkam kelompok pembangkang kebijakan politik perang Jepang yang ada di Kalimantan Barat.
Sejumlah tokoh penting ikut menjadi korban kebiadaban tentara Jepang tersebut, seperti Sultan Pontianak Syarif Mohammad Alkadrie dan Putra Sultan Pontianak Pangeran Adipati.