Kala itu, ia tengah tidur di kamar lantai dua. Sekonyong-konyong ia terbangun karena suara teriakan dan tembakan yang membabi buta. Langsung ia mengintip ke jendela. Ternyata telah banyak tentara berseragam lengkap di perkarangan rumah.
“Beberapa di antaranya melompati pagar, sambil membawa senapan,” kata Catherine.
Karena panik, ia lari ke kamar ayahnya. Ayahnya pun sudah terbangun dari tidur. Mereka pun berkumpul di ruang tengah lantai atas. Kata Catherine, almarhum ayahnya terus mondar-mandir, dari balkon ke kamar. Dia sempat mengotak-atik senjatanya, sebuah senapan stengun pendek.
Catherine sempat bertanya pada ayahnya soal apa yang terjadi. Tapi ayahnya bergeming. Sedangkan di lantai bawah, bunyi tembakan terus terdengar. Televisi, barang-barang koleksi kristal Ibu Panjaitan, dan barang lainnya hancur. Bahkan meja ikut terjungkal. Ayahnya memberi perintah kepada keluarganya, “Tiarap…tiarap,” kata Catherine menirukan ayahnya.
Sebelum menyerahkan diri ke para penculiknya, DI Pandjaitan sempat meminta Catherine menelepon Samosir, asisten Jenderal S. Parman. Usai itu, Catherine menghubungi Bambang, pacar sahabatnya. Tapi belum selesai pembicaraan, kabel telepon diputus.
Berseragam lengkap, kemudian DI Panjaitan turun ke ruang tamu. Seorang tentara berseragam hijau dan topi baja berseru, "Siap. Beri hormat," Tapi Panjaitan hanya mengambil topi, mengapitnya di ketiak kiri dan berdoa di garasi di sekeliling para penculiknya. Tak diacuhkan begitu, si tentara penculiknya memukul Panjaitan dengan gagang senapan, hingga ia tersungkur. Setelah itu, kejadian bergulir cepat.
“Darah menyembur dari kepala Papi,” kata Catherine menceritakan kejadian yang terjadi di depan matanya.
(Nanda Aria)