JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terus menyuarakan kegelisahan di masyarakat mengenai fenomena kasus perundungan atau bullying, terutama yang terjadi lingkungan sekolah. Desakan DPR pun disebut harus segera direspons cepat Pemerintah.
Ketua DPR Puan Maharani mendorong Pemerintah untuk mencari solusi dari maraknya kasus perundungan atau bullying di Indonesia, terutama perundungan anak.
“Banyaknya kasus bullying membuat Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat perundungan. Negara tidak boleh membiarkan kasus bullying terus mengalir tanpa ada solusi yang komprehensif, khususnya untuk perundungan yang melibatkan anak sebagai korban dan pelaku,” kata Puan, Jumat (29/9/2023).
Mantan Menko PMK ini menekankan pentingnya sekolah mengedepankan pendidikan karakter, untuk membangun mental yang positif bagi para siswa. Lebih lanjut Puan mendorong Pemerintah melalui Kemendikbudristek untuk membuat kurikulum membangun karakter siswa yang positif.
“Penting sekali agar pendidikan budi pekerti kembali masuk dalam kurikulum di sekolah, karena menjadi modal penanaman akhlak untuk anak. Pendidikan bukan hanya tentang prestasi akademik, tetapi juga tentang membentuk karakter dan mental yang kuat pada para siswa," urainya.
Ditambahkan Puan, pendidikan kewarganegaraan siswa di sekolah perlu dilengkapi dengan adanya pendidikan moral dan budi pekerti bagi anak. Ia menyinggung soal banyaknya kasus di sekolah di mana pembelajaan saat ini lebih banyak berfokus pada unsur akademik semata.
"Sekolah harus menjadi wahana untuk mengembangkan individu yang bertanggung jawab, berempati, dan berperilaku baik," tegas Puan.
Puan menilai, perlu ada penanganan khusus dari kasus bullying anak yang melibatkan berbagai instansi.
“Karena masalah bullying banyak sekali irisannya. Bagaimana diperlukan dukungan dari Pemerintah untuk menciptakan ketahanan keluarga untuk memastikan anak dapat bertumbuh dengan fisik dan mental yang baik,” sebut cucu Bung Karno itu.
“Penanganan lebih khusus juga menjadi penting agar pengusutan kasus bullying anak dapat berjalan dengan optimal. Karena dalam perundungan anak, pelaku dan korban sama-sama masih di bawah umur sehingga membutuhkan perlakuan dan pendampingan khusus, termasuk pada sistem peradilannya,” sambungnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menekankan pentingnya pelibatan aparat penegak hukum seperti unsur Babinsa dari TNI dan Bhabinkamtibmas dari Polri sebagai pendamping guru BP di sekolah. Sebab Babinsa dan Bhabinkamtibmas merupakan unsur aparat yang bersentuhan langsung dengan pembinaan terhadap masyarakat, dan sebagai aparat pastinya memiliki ketegasan yang lebih.
Pembina teritorial seperti Babinsa dan Bhabinkamtibmas dapat mengatasi berbagai bentuk ‘kenakalan’ siswa dengan memberikan disiplin edukatif. Namun pelibatan aparat teritorial untuk membina siswa nakal harus diatur dalam beleid yang tegas, beserta bentuk disiplin edukatif apa saja yang bisa dilakukan berdasarkan kategori kenalakan yang dilakukan anak.
Dede menilai peran guru saat ini telah berubah menyusul perkembangan zaman. Tidak seperti masa lampau di mana guru bisa tegas memberi sanksi kepada murid, guru saat ini hanya bisa berfokus pada pengajaran akademik dan konseling.
"Guru atau kepala sekolah umumnya takut melakukan pendisiplinan karena khawatir diadukan ke penegak hukum. Dan guru tidak pernah belajar cara melakukan sanksi fisik yang benar," ucap Dede.
“Untuk mengatasi pelanggaran di sekolah, harus ada guru BP. Dulu guru BP ditakuti. Jadi sekarang bisa dengan bantuan Babinsa atau Polisi. Supaya nanti kalau guru melempar pakai kapur, besoknya tidak langsung dipanggil Polisi,” sambung legislator dari Dapil Jawa Barat II ini.