YERUSALEM – Sebuah surat yang ditulis seorang warga Palestina untuk Eropa disebarkan oleh salah satu media internasional, Al Jazeera, pada Kamis, (18/10/2023).
Dalam suratnya, penulis tersebut menumpahkan perasaannya, mewakili warga Palestina lainnya bahwa mereka setiap hari harus hidup dalam mimpi buruk. Yakni menghadapi satu kematian dan kehancuran lagi di kemudian hari.
Mohammed Mokhiemar dengan istrinya, Safaa, dan bayi mereka yang baru menginjak usia tiga bulan, harus menghadapi ajal mereka bersama 70 warga Palestina lainnya karena serangan udara Israel.
Mereka terbunuh setelah Israel memerintahkan mereka untuk mengungsi ke bagian selatan Gaza, sebagaimana yang ditulis dalam suratnya.
Sang penulis surat menggambarkan perasaan yang ia hadapi saat ini adalah “qahr” dalam bahasa Arab, sebuah rasa sakit, sedih, dan marah yang menjadi satu.
“Ini adalah perasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, yang terakumulasi selama lebih dari 75 tahun pembersihan etnis, pembunuhan massal, ketidakadilan, penindasan, penjajahan, pendudukan, dan apartheid (pemisahan ras),” tulisnya dalam surat yang disebarkan Al Jazeera.
Qahr adalah perasaan yang tertanam dalam diri setiap orang Palestina, sesuatu yang harus mereka jalani sepanjang hidupnya. Qahr adalah apa yang warga Palestina rasakan ketika Israel datang menyerbu rumah-rumah mereka. Qahr mendefinisikan setiap serangan, pembantaian, dan kehancuran yang Israel lakukan pada Gaza selama 16 tahun terakhir.
Bersama dengan kepasrahan dan kefrustrasian penulis, ia juga mengungkapkan kekecewaanya pada pemimpin-pemimpin di Eropa yang menunjukkan standar ganda yang kejam dan menyakitkan.
Pada tanggal 11 Oktober 2023, lebih dari 1.000 warga Palestina terbunuh dalam pengeboman Israel tanpa pandang bulu di Gaza. Ketika hal ini terjadi, pihak Eropa secara terang-terangan menawarkan dukungannya pada Israel.
"Eropa berdiri bersama Israel. Dan kami sepenuhnya mendukung hak Israel untuk mempertahankan diri," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera.
Penulis menyatakan kekecewaan pada Eropa yang seolah-olah menutup sebelah mata mereka.
“Mereka tidak menyinggung sedikitpun tentang blokade total yang diberlakukan Israel terhadap Gaza, yang memutus aliran listrik, air, serta pasokan makanan dan obat-obatan. Yang oleh para ahli hukum dianggap sebagai kejahatan perang,” ungkap sang penulis.
Ia juga menulis bagaimana para politisi Eropa ini mendukung perjuangan Ukraina dalam melawan kependudukan Rusia, namun tidak dengan Palestina yang berjuang melawan kependudukan Israel.
Alih-alih memberi bantuan, warga Palestina dilabeli sebagai “teroris”, sementara Ukraina adalah “pejuang kemerdekaan”. Penulis menyebutkan bahwa standar ganda Eropa ini benar-benar mematikan.
Selama enam hari pertama perang tahun ini, diketahui Israel telah menjatuhkan sebanyak 6.000 bom di Jalur Gaza yang padat penduduknya. Menurut para ahli, jumlah bom tersebut setara dengan seperempat bom atom.
Kementerian Kesehatan Palestina juga melaporkan lebih dari 3.000 warga mereka tewas, yang di antara sekitar 1.000 anak-anak menjadi korban kekejaman ini.
Lagi dan lagi, sang penulis menyuarakan pendapatnya mengenai keterlibatan Eropa dalam perang ini yang sangat mengecewakan. Berbagai bantuan militer, ekonomi, dan politik mereka kepada Israel terus berlanjut.
“Masih ada waktu bagi Anda untuk menghindarkan diri dari rasa malu karena berada di sisi yang salah dalam sejarah,” tulisnya.
(Susi Susanti)