Berulang kali Israel berusaha menagkap dan membunuh Komandan militer Hamas, Mohammed Deif. Tapi sebanyak itu pula kegagalan dialami oleh pasukan Israel. Dengan jenius dia bahkan berhasil menggerakkan "Operation Al-Aqsa Flood" atau Operasi Banjir Al-Aqsa.
Salah satu faktor yang membuat Deif selalu lolos adalah taktik gerilya pria yang sekarang berusia mendekati 60 tahun tersebut. Taktik ini mengingatkan pada apa yang dilakukan panglima besar Jendral Soedirman.
Sebelum menjabat sebagai komandan Berigade Qassam pada 2002, Deif telah masuk dalam daftar buronan “paling dicari” Israel selama bertahun-tahun. Dia beberapa kali lolos dari upaya pembunuhan oleh tentara Zionis.
Seperti pada 2002, saat sebuah helikopter Israel menembakkan rudal ke sebuah mobil dekat Kota Gaza untuk mengincar nyawanya, dia masih selamat. Padahal serangan tersebut menewaskan dua anggota Hamas.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat telah menetapkan Deif sebagai teroris, menyebutnya sebagai tokoh yang bertanggung jawab atas setragedi ofensif Hamas. Pada 2014, kembali melancarkan upaya pembunuhan Deif dengan serangan yang ditargetkan ke sebuah rumah.
Serangan itu diyakini telah membunuh istri dan putra Deif yang berusia tujuh bulan. Deif pun bak seorang legenda “yang tak bisa dibunuh”, sehingga mendapat julukan “Kucing 9 Nyawa” karena selalu lolos dari upaya untuk nyawanya.
Selamatnya Deif ini karena dia kerap tinggal berpindah-pindah di rumah para simpatisan pejuang Palestina demi menghindari aksi intelijen Israel.
Tak berlebihan dia juga dijuluki "Sang Tamu". Padahal, menurut, sumber keamanan Israel, Deif kehilangan sebelah matanya, kedua kaki dan tangannya, serta menewakan istri dan kedua anaknya.
Taktik gerilya Deif ini mirip apa yang dilakukan Jendral Soedirman. Dimana "Jenderal Soedirman" harus berpindah pindah tempat meski harus ditandu. Melewati sungai, menembus hutan belantara, bersembunyi dalam gua, menginap di rumah penduduk yang dilewati rute gerilya, sehingga selalu lolos dari kejaran Belanda.
(Maruf El Rumi)