JAKARTA - Ki Ageng Mangir Wanabaya menjadi saingan utama Panembahan Senopati atau Sutawijaya. Panembahan Senopati gentar kepada Ki Ageng Mangir lantaran memiliki pusaka yang lebih sakti, yaitu tombak Baruklinting.
Ki Ageng Mangir masih trah Prabu Brawijaya V dari Majapahit. Panembahan Senapati pula merupakan trah Prabu Brawijaya V. Dengan demikian, keduanya masih keturunan raja Majapahit di mana naskah tersebut mengacu pada tokoh Bhre Kertabhumi.
BACA JUGA:
Maka Sutawijaya mengutus anaknya yang bernama Roro Pembayung untuk menggoda Ki Ageng hingga jatuh cinta dan mempersuntingnya.
Sastrawan Pramoedya Ananta Toer menggambarkan Ki Ageng Mangir sebagai seorang pemimpin yang lemah, lengah dengan kehadiran wanita di sampingnya. Tetapi ia tetap seorang pemimpin yang tangguh ketika menghadapi Mataram.
BACA JUGA:
Penembahan Senapati disarankan oleh Juru Mrentani untuk mengumpankan Ki Ageng dengan wanita, karena Ki Ageng Mangir masih lajang dan tertarik dengan kesenian Tayub. Senapati menggunakan Retna Pembayun putrinya sebagai telik sandi atau mata-mata.
Retna Pembayun menyamar sebagai ledhek (penari seni Tayub) didampingi Adipati Martalaya (Dalang Sandiguna), Ki Jayasupanta, Ki Sandisasmita, Ki Suradipa, dan Nyai Adirasa. Ia meninggalkan Mataram. Sesudah mandi di Sendang Kasihan (Bantul).
Pembayun beserta rombongannya menuju ke wilayah Mangir untuk barang ledhek (ngamen dengan menari tayub). Ketika menjadi ledhek, Retna Pembayun menggunakan nama samaran Lara Kasihan.
Ki Ageng Mangir mengutus bawahannya untuk mengundang kesenian tayub itu pentas di halaman Dalem Mangiran.
Melihat kecantikan Rara Kasihan, Ki Ageng Mangir terpikat, ia menyunting Rara Kasihan. Ternyata Rara Kasihan juga jatuh cinta pada Ki Mangir dan melupakan tugasnya. Ia menerima pinangannya.
Pembayun kemudian mengandung cinta Ki Ageng. Tetapi kebahagiaan itu lenyap saat Rara Kasihan mengakui sebagai putri Panembahan Senapati. Tapi permusuhan kalah oleh cinta. Ki Ageng Mangir bersedia menghadap Panembahan Senapati yang merupakan mertuanya.
BACA JUGA:
Dalam Babad Mangir diceritakan bahwa rombongan pengantin Ki Ageng Mangir dan Rara Kasihan diiringi banyaknya emban pembawa ubarampe dan srah-srahan dengan cara dipikul. Karena terlihat pikulan srah-srahan itu mentul-mentul (memantul-mantul), maka lahirlah nama Bantul,Yogyakarta.
Ki Ageng Mangir menghadap dan sungkem menghaturkan sembah. Begitu Ki Ageng Mangir menyembah dan menundukkan kepalanya, Panembahan Senopati mengambil tombak Kyai Pleret dan segera menusuk dada Ki Ageng Mangir.
Meski dada sudah tertusuk tombak, Ki Ageng Mangir masih mempunyai daya. Ia berusaha menubruk Panembahan Senopati. Tetapi Panembahan Senopati dapat menghindarinya.
Lalu kepala Ki Ageng dibenturkan oleh Panembahan Senapati pada batu gilang yang merupakan singgasananya. Sesudah tewas, jasad Ki Ageng Mangir dimakamkan separuh di dalam benteng makam dan separuh berada di luar makam Raja-Raja Mataram di Kotagede, Yogyakarta.
(Nanda Aria)