JAKARTA - Indonesia telah lama menjadi tempat persinggahan pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari konflik dan persekusi di Myanmar. Kedatangan para pengungsi Rohingya pada 2015 dan 2020 disambut dengan baik oleh penduduk lokal.
Namun, meningkatnya lonjakan jumlah pengungsi yang berdatangan dalam beberapa minggu terakhir, menyebabkan sentimen negatif di media sosial dan penolakan dari masyarakat Aceh. Tidak hanya mengungkapkan ketidaksenangan atas tingginya lonjakan perahu yang membawa pengungsi Rohingya, masyarakat juga menganggap para pengungsi ini membawa pengaruh buruk.
Tingginya lonjakan jumlah kedatangan pengungsi Rohingya di Indonesia ini memunculkan dugaan adanya peran sindikat perdagangan manusia dan tindak pidana.
Pada konferensi pers, Jumat (8/12/2023) Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa ia mendapatkan laporan meningkatnya jumlah pengungsi yang memasuki wilayah Indonesia, khususnya Aceh.
"Ada dugaan kuat adanya keterlibatan jaringan kriminal perdagangan manusia dalam arus pengungsi ini. Pemerintah akan mengambil tindakan tegas terhadap pelaku perdagangan manusia," ujar Jokowi.
Sementara Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu RI) mengatakan ada dua tindak pidana dalam kedatangan para pengungsi Rohingya ini yaitu penyelundupan manusia (human smuggling) dan perdagangan orang (human trafficking).
Mengutip BBC, pada 27 November, Polres Aceh Timur mengusut adanya dugaan tindak perdagangan manusia, terhadap 36 pengungsi Rohingya di Ule Ateng, Aceh Timur.
Sebanyak 36 orang pengungsi secara sengaja merencanakan dan melibatkan uang. Hal ini membuat Polres Aceh Timur menetapkan status sebagai tersangka, dengan pasal imigrasi dan pasal Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Sindikat penyelundupan orang diperkuat dengan pernyataan seorang pengungsi, Zakaria. Ia rela membayar Rp20 juta kepada agen, agar dapat mengantar istri dan anak-anaknya naik kapal dari kamp pengungsi Bangladesh ke Aceh.
Mengutip UN Migration, ribuan pengungsi Rohingya berisiko menjadi korban human trafficking. Badan Migrasi PBB, International Organization for Migration (IOM), dan para pakar pemberantasan perdagangan manusia telah memperingatkan bahwa eksploitasi hanya dapat dilakukan jika pihak berwenang, lembaga-lembaga lokal dan internasional, dan komunitas bekerja sama.
(Rahman Asmardika)