Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kisah Kahar Muzakkar, Sang Pejuang yang Memberontak karena Kecewa pada Soekarno

Tim Okezone , Jurnalis-Jum'at, 19 Januari 2024 |05:00 WIB
Kisah Kahar Muzakkar, Sang Pejuang yang Memberontak karena Kecewa pada Soekarno
Abdul Kahar Muzakkar (Youtube)
A
A
A

ABDUL Kahar Muzakkar seorang tokoh pejuang kemerdekaan asal Tanah Luwu, Sulawesi Selatan. Ia juga pernah jadi pengawal Soekarno. Tapi, jasanya pada Republik Indonesia malah berbalas kekecewaan. Kahar pun memimpin pemberontakan pada negara yang dulu sangat dicintainya.

Kahar Muzakkar dikenal sebagai pendiri sekaligus pemimpin Tentara Islam Indonesia (TII) di Sulawesi yang kemudian bergabung dengan Darul Islam (DI), sebuah gerakan perjuangan untuk mewujudkan penerapan hukum Islam sebagai landasan negara dan menolak sekulerisme.

Kahar Muzakkar menggelorakan pemberontakan karena kecewa dengan Presiden Soekarno. Pemicunya karena keinginan sang patriot itu tak dikabulkan Bung Karno.

Keinginan Kahar tak muluk-muluk. Ia hanya ingin pasukannya yang tergabung dalam Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) turut dileburkan ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang sekarang dikenal sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI).

 BACA JUGA:

Saat itu pemerintah pusat ingin membubarkan KGSS dengan alasan revolusi kemerdekaan sudah selesai. Kahar yang tak setuju dengan ide pembubaran pasukannya yang sudah berjasa pada perjuangan, mengirimkan surat ke pemerintah pusat dan pimpinan APRI, meminta agar segenap barisan KGSS dimasukkan ke dalam APRI dengan nama “Brigade Hasanuddin”.

Sayang, permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh Presiden Soekarno dengan alasan mayoritas anggota KGSS tak memenuhi syarat sebagai tentara yang profesional. Hanya segelintir yang lolos dalam saringan perekrutan APRI. Selebihnya para anggota KGSS akan dijadikan bagian dari Korps Cadangan Militer.

Tentu saja sikap Presiden Soekarno itu sangat tak sesuai dengan harapan Kahar Muzakkar.

Dikutip dari buku buku “100 Tokoh yang Mengubah Indonesia”, penolakan permintaannya oleh Soekarno membuat kekecewaan Kahar memuncak.

 BACA JUGA:

Beberapa bulan kemudian, pemerintah pusat coba persuasif dengan memberinya pangkat Overste atau Letnan Kolonel, demi meredam kekecewaan Kahar. Tapi ketika akan dilantik pada 17 Agustus 1951, Kahar justru kabur dengan membawa serta sejumlah persenjataan. Dia pun menggelorakan pemberontakan terhadap pemerintah.

Sebelumnya, Kahar sudah pernah beberapa kali dikecewakan pemerintah pusat. Salah satu persoalan sebelum tuntutannya pada 30 April 1950 itu adalah terkait pembentukan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), Oktober 1945.

Tapi KRIS justru lebih “dikuasai” golongan Mihanasa-Manado dan membuat perannya sebagai sekretaris terkucilkan, sampai memutuskan keluar dari KRIS.

Terlepas dari hal itu setelah tuntutannya ditolak Soekarno, Kahar membentuk brigadenya sendiri. Pada 7 Februari 1953, Kahar memutuskan bergabung dengan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.

Gerakan pasukannya yang berkekuatan sekitar 15 ribu pengikut, mengatasnamakan agama dan sepak terjangnya lebih kepada melancarkan teror kaum aristokrat dan para bangsawan yang bertentangan dengannya.

 BACA JUGA:

Di tahun itu pula, muncul pemberontakan lain di Sulawesi, Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta). Di sisi lain, pemberontakan Kahar justru juga mulai melemah akibat ‘digembosi’ dari dalam sejak 1957.

Pergerakan pasukan Kahar mulai tak mendapat aliran suplai dari Andi Selle, pensiunan APRI. Seperti disadur dari buku ‘Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar”, Andi Selle dipengaruhi Pangdam XIV/Hasanuddin, Kolonel Muhammad Jusuf, untuk tak lagi ikut campur dalam penyaluran suplai pasukan Kahar.

Jusuf juga berkehendak berunding dengan Kahar untuk menyelesaikan konflik. Tapi di tengah jalan, pemberontak simpatisan Andi Selle malah menembaki mobil Jusuf.

Beruntung, Jusuf selamat dan di hari berikutnya, Jusuf melayangkan laporan kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Letnan Jenderal Achmad Jani dan Presiden Soekarno, bahwa perundingan tak dibutuhkan lagi.

Di saat itulah dikirim pasukan TNI dari Jawa untuk melancarkan “Operasi Kilat”. Di satu pihak, pasukan Kahar kian berkurang, terlebih setelah koleganya, Bahar Mattaliu “termakan” propaganda pemerintah, bahwa Presiden Soekarno memberi amnesti pada semua yang ingin menyerah.

Uang jadi “pancingan” yang sukses untuk menginsyafkan puluhan ribu pengikut Mattaliu. Pasalnya, mereka yang memang mulai terdesak ekonomi, dijanjikan tunjangan Rp250 ribu oleh pemerintah.

Memasuki 1965, pasukan Kahar mulai terdesak dan pada 3 Februari, Kahar disergap pasukan Siliwangi dari Batalyon 330 Kujang I. Dalam berbagai literatur, di saat itulah, tepatya di tepi Sungai Lasolo, Kahar tertembak Kopral Sadeli dan langsung tersungkur tewas. Juli 1965, seluruh pengikutnya menyerahkan diri di Gerungan.

Nah, tapi ada beragam spekulasi soal Kahar, terlebih jenazah dan kuburannya tak pernah diungkap di kemudian hari. Kolonel Jusuf sendiri yang membawahi “Operasi Kilat” itu tak pernah mau buka mulut soal jenazah dan pusara Kahar.

Ada berbagai rumor soal Kahar, mulai dari jenazahnya dibawa ke Jakarta, dimakamkan di Kendari, dikebumikan dekat Bandara Makassar, sampai rumor yang menyatakan dia sebenarnya masih hidup.

Namun kepastian Kahar sudah meninggal akhirnya dikonfirmasi istri kedua Kahar yang berdarah Belanda, Corry van Stenus, lewat pengakuan anak-anak Kahar ketika diizinkan melihat sendiri jenazah Kahar di Rumah Sakit Palemonia, Makassar.

(Salman Mardira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement