JAKARTA - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Adian Napitupulu mengatakan bahwa hak angket yang rencananya akan digulirkan DPR RI menjadi solusi untuk mengungkap dugaan kecurangan Pemilu 2024.
“Pilihannya adalah hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pada pelaksanaan Pemilu 2024,” kata Adian saat menjadi pembicara pada dialog spesial “Rakyat Bersuara: Suara Rakyat vs Sirekap” yang ditayangkan iNewsTV, Selasa (20/2/2024).
Aktivis 98 itu menyebut hal itu untuk merespon kebingungan masyarakat. Apalagi, kebingungan dan kekecewaan masyarakat itu tidak bisa dijawab melalui lembaga-lembaga pemerintah.
BACA JUGA:
"Kecurangan itu tidak bisa hanya dilihat di angka-angka. Rakyat bingung. Parpol bingung. Ketemu kecurangan pemilu. Ngadu ke mana? MK ada pamannya. Lalu ke mana? Mau tidak mau pilihannya hak angket. Jika KPU, Sistem Rekapitulasi Suara Pemilu 2024 atau Sirekap dan MK sudah tak bisa dipercaya, mau tidak mau rakyat hanya percaya dengan kekuatannya sendiri. Hati-hati loh itu. Hati-hati," lanjutnya.
Menurutnya, DPR sebagai perwakilan masyarakat mesti bertanggung jawab mengontrol produk undang-undang. Parlemen, ujarnya, harus bertanggung jawab untuk setiap pengeluaran rupiah yang diteken dalam APBN.
Dia menegaskan bahwa rangkaian kecurangan pada Pemilu 2024 tidak hanya berhenti dalam angka-angka.
Adian menyebut bahwa perhitungan perolehan suara pada Sirekap bisa berubah dalam sehari. Dia menyebut dirinya kehilangan 470 suara.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, dia menekankan bahwa peluang kecurangan pada pilpres akan lebih besar dibanding pileg karena jumlah kertas suara dan tempat pemungutan suara (TPS) lebih banyak.
“Kalau untuk 15 ribu TPS di Bogor bisa terjadi kecurangan. Peluang kecurangan lebih mungkin terjadi pada pilpres dengan 800 ribuan TPS,” katanya.
Anggota Komisi VII DPR RI ini pun menyinggung tanggung jawab negara dalam dugaan kecurangan Pemilu 2024. Menurutnya, angka perolehan suara yang dipublikasi KPU melalui Sirekap berubah-ubah dan ada penggelembungan.
Dia mempertanyakan apakah data yang dipublikasi Sirekap, termasuk kabar bohong (hoaks) atau bukan. Jika termasuk hoaks, maka ada sanksi karena menyebarkan kebohongan publik.
“Menurut saya harus ada langkah hukum ketika negara dianggap menyebarkan hoaks, karena data Sirekap itu tersebar kok. Artinya, harus ada langkah politik di parlemen,” pungkasnya.
(Salman Mardira)