JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengambil langkah memasukan unsur kerusakan lingkungan sebagai kerugian negara. Salah satunya dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah.
Kejagung bekerja sama dengan ahli lingkungan untuk menghitung kerugian perekonomian negara yang disebabkan dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Di mana, kerugian atas kerusakan lingkungan ditaksir mencapai Rp271 triliun.
Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda, kerusakan lingkungan sebagai kerugian negara merupakan hal yang dapat diterima. Meski begitu, untuk membuktikannya, Kejagung perlu menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam melakukan audit.
"Untuk membuktikan adanya kerugian perekonomian negara itu termasuk kerugian karena kerusakan ekologis kan itu harus berdasarkan audit BPK,” kata Chairul Huda kepada wartawan, Jumat 23 Februari 2024.
Dalam kerangka undang-undang, Huda menjelaskan bahwa ada dua bentuk kerugian, yaitu kerugian keuangan negara yang terkait dengan APBN dan APBD, dan kerugian perekonomian negara. Sebagai contoh, kerugian perekonomian negara dapat muncul dalam kasus ekspor minyak CPO, di mana negara harus memberikan Bantuan Langsung (Tunai) sebagai respons terhadap gangguan perekonomian.
"Karena gangguan perekonomian yang timbul akibat ekspor CPO di maksud jadi memang ada harus ada perhitungan yang nyata dianggap sebagai sebuah kerugian katakanlah seperti itu," tuturnya.
Huda menambahkan, dengan merujuk pada kasus tindak pidana korupsi lainnya, seperti lahan kelapa sawit yang melibatkan terdakwa Surya Darmadi. Dalam kasus ini, awalnya kerugian ekologis diakui sebagai kerugian perekonomian negara, tetapi Mahkamah Agung (MA) menolak klaim tersebut.