JAKARTA —Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga ada pihak tertentu yang membekingi penambangan timah ilegal di Provinsi Bangka Belitung (Babel) sehingga aktivitas itu leluasa terjadi dalam waktu lama. Akibatnya, masyarakat rugi bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi juga kerusakan lingkungan dan ekologi.
Kejagung akan memasukan kerusakan lingkungan sebagai kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi tambang timah di PT Timah.
Sebelumnya, Penyidik Jampidsus merilis penghitungan kerugian perekonomian negara setotal Rp271 triliun dalam pengusutan korupsi eksplorasi dan penambagan timah ilegal di lokasi izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung. Sebelas tersangka, termasuk dua penyelanggara sudah dijebloskan ke sel tahanan dalam pengusutan perkara ini.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kuntadi meyakini selama ini ada pihak yang membekingi tujuh perusahaan timah yang terjerat dalam korupsi penambangan timah di lokasi izin usaha penambangan (IUP) PT Timah Tbk.
“Terkait dengan penambangan timah ilegal, pembekingan ini sudah sekian lama dibiarkan. Memang mungkin dibiarkan, dan dilakukan hanya penindakan-penindakan skalanya kecil. Bahwa memang baru kali ini, kami mengambil tindakan yang skala besar,” kata Kuntadi, beberapa waktu lalu.
Menanggapi hal itu, Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Eva Achjani Zulfa, mengatakan, kerugian perekonomian negara bisa dimasukan sebagai kerugian negara, jika didasarkan pada penelitian ahli. Namun seringkali hakim tidak menjadikan keterangan ahli sebagai pertimbangannya.
“Hingga saat ini kita belum sepaham tentang makna unsur kerugian perekonomian negara. Berbeda dengan kerugian keuangan negara yang mudah dibuktikan dengan audit investigasi oleh BPK misalnya,” kata Eva, Senin (26/2/2024).
Bila kerugian perekonomian negara dianggap sebagai kerugian yang masif dan memiliki dampak yang lebih luas daripada kerugian keuangan negara, menurut Eva, maka kerusakan lingkungan jangka panjang dapat saja dihitung sebagai kerugian perekonomian negara.
“Sepanjang hal itu dapat dibuktikan dengan alat bukti yang dapat menjadi rujukan hakim seperti scientific evidence misalnya hasil penelitian seorang ahli,” ujar pengajar pascasarjana UI tersebut.
Namun kata Eva, pendapat ahli selalu dinilai sebagai alat bukti yang sifatnya bebas dimana hakim tidak terikat dengan alat bukti tersebut.
“Dalam pasal 188 KUHAP bahwa sumber petunjuk berasal dari saksi, surat dan keterangan terdakwa,” kata Eva.
“Pendapat ahli tidak masuk didalamnya. Akibatnya, seringkali pandangan ini kemudian menjadikan pendapat ahli tidak menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara,” tutup Eva.
(Fahmi Firdaus )