"Tapi saya tidak tahu pasti apakah itu adalah keberangkatan beliau (Kiai Thohir) ke tanah suci untuk yang pertama atau sudah kesekian," bebernya.
Perjalanan berhaji menggunakan kapal laut saat itu membutuhkan waktu yang panjang. Dibutuhkan waktu setidaknya tiga bulan sampai setengah tahun hanya untuk menuju Makkah atau sebaliknya. Perjalanan yang cukup menguras pikiran, tenaga, waktu, dan biaya itu membuat istri Kiai Thohir, yaitu Nyai Murthosiah, wafat dalam perjalanan pulang dan disebut telah dimakamkan di lautan.
Tak berselang lama usai pulang dari tanah suci, sekitar tahun 1933 Masehi KH. Thohir wafat. Jenazahnya dimakamkan di kompleks pemakaman Bungkuk, yang ada di belakang Masjid At Thohiriyah, Bungkuk, Kelurahan Pagentan, Singosari. Makam KH. Thohir bersanding dengan mertuanya sekaligus pendiri Masjid Bungkuk yang jadi Masjid tertua di Malang raya.
"Makam beliau ada di belakang masjid yang di kasih stainless steel yang selatan Kiai Hamimuddin, utara Kiai Thohir, yang lainnya putra-putranya Kiai Thohir. Kiai Thohir punya lima orang anak putra pertamanya, setelah generasinya Kiai Thohir kepemimpinan diserahkan kepada Kiai Nahrawi," tuturnya.
Hingga kini disebut Moensif, kompleks pemakaman Masjid Bungkuk tetap ramai diziarahi masyarakat. Guna mengetahui siapa saja yang dimakamkan di pemakaman tersebut, pengurus Masjid Bungkuk memasang nama-namanya di sisi utara.
"Tradisinya disini memang nisan tidak dikasih nama turun temurun. Sehingga banyak orang ziarah ke sini tidak tahu ini siapa ini siapa, makanya untuk menghindari supaya hal itu tidak terjadi, tembok utara ada denah silakan dilihat di sana. Orang lihat dari situ tidak lihat dari batu nisannya," pungkasnya.
(Khafid Mardiyansyah)