JAKARTA - Pertumbuhan ekonomi yang terjadi di seluruh dunia menyebabkan peningkatan konsumsi minyak dunia secara drastis selama dua dekade terakhir. Proses pengiriman minyak mentah ini kemudian membutuhkan transportasi dan jalur perdagangan yang dapat membantu dalam proses pengiriman ke seluruh dunia.
Berbicara mengenai jalur perdagangan, Selat Hormuz merupakan salah satu titik transit serta jalur perdagangan paling penting dan strategis di dunia. Alasan mengapa dikatakan sebagai jalur perdagangan paling penting dan strategis adalah karena selat ini menjadi satu-satunya jalur perairan yang menghubungkan Teluk Persia dan Teluk Oman dengan perairan terbuka Laut Arab dan Samudera Hindia.
Melansir dari laporan Institute of Peace and Conflict Studies (IPCS), Selat Hormuz berbatasan dengan Iran dan pulau-pulaunya di sisi utara serta berbatasan dengan Uni Emirat Arab di sisi selatan.
Damayanti dan Kartosuwiryo dalam bukanya pada 2022 menyebutkan bahwa Selat Hormuz yang merupakan jalur perdagangan dunia yang penting dipenuhi dengan kapal tanker minyak yang berlayar melalui selat tersebut setiap delapan hingga sepuluh menit dengan mengangkut minyak sebanyak 4 juta ton setiap harinya.
Mengutip dari Energy Information Administration (EIA), aliran minyak yang melalui selat Hormuz pada 2022 rata-rata mencapai 21 juta barrel per hari, setara dengan sekitar 21% konsumsi cairan minyak bumi global. Sedangkan pada paruh pertama tahun 2023, total aliran minyak yang melalui Selat Hormuz relatif datar dibandingkan tahun 2022 sebagai akibat dari peningkatan aliran produk minyak yang juga mengimbangi penurunan minyak mentah dan kondensat.
Peningkatan konsumsi minyak dunia yang telah disebutkan sebelumnya memberi dampak yang signifikan terhadap jumlah minyak yang di impor negara-negara tertentu seperti Cina dan Amerika Serikat (AS). Berbeda dengan Cina dan AS, negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, dan Qatar justru lebih banyak melakukan aktivitas ekspor melalui Selat Hormuz. Melansir dari EIA, hanya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UAE) yang memiliki akses terhadap jaringan pipa yang melewati Selat Hormuz
Ramainya kegiatan ekspedisi minyak di Selat Hormuz tidak luput dari permasalahan keamanan yang dapat mengancam aktivitas perdagangan negara-negara yang sangat bergantung pada selat tersebut. Mengutip dari laporan Institute of Peace and Conflict Studies (IPCS), sebanyak seperlima minyak dunia melewati Selat Hormuz.
Oleh karena itulah penting bagi setiap negara yang bergantung pada selat ini untuk menjaga stabilitas di kawasan agar aktivitas perdagangan antar negara terlindungi dan harga minyak di seluruh dunia stabil. Namun fakta bahwa konflik itu tidak sepenuhnya dapat dicegah benar adanya, mengingat setiap negara yang melewati selat ini memiliki kepentingannya sendiri-sendiri.
IPCS dalam laporannya mengenai hukum laut mengatakan bahwa Selat Hormuz bukanlah wilayah yang mencirikan perdamaian dan stabilitas. Nyatanya, secara historis Selat Hormuz telah menjadi titik sempit dan titik konflik.
Sejak 1980 an, antar negara seperti Irak dan Iran telah terlibat dalam Perang Tanker. Berlanjut pada 1988, kapal perang Amerika Serikat (AS) Vincennes menembak jatuh pesawat penumpang Iran yang menewaskan 290 orang. Kemudian pada 2010, kelompok yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda menyerang kapal tanker minyak Jepang. Kasus-kasus konflik lainnya yang terjadi di selat ini yaitu ketika Wakil Presiden Iran, Mohammad Reza Rahimi, mengancam akan menutup jalur perdagangan melalui Selat Hormuz.
Tidak berhenti sampai disitu, sebagai bentuk respon terhadap sanksi ekonomi yang diberikan oleh AS, Iran melaksanakan ‘Velayat-90’ yang merupakan latihan militer selama 10 hari di perairan internasional di sekitar selat. AS yang tidak tinggal diam kemudian mengirim kapal induk John C. Stennis yang menyebabkan meningkatnya ketegangan antara kedua negara tersebut. Dapat dilihat dari kasus-kasus yang pernah terjadi di Selat Hormuz ini menunjukkan bahwa selat ini selain dimanfaatkan sebagai jalur perdagangan, juga dimanfaatkan sebagai platform bagi negara-negara untuk menegaskan dominasi mereka di wilayah tersebut.
(Rachel Eirene Nugroho)
(Rahman Asmardika)