JAKARTA - Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sri Wiyanti Eddyono berharap, para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki nalar secara komprehensif, dengan menganalisis keputusannya pada konteks keadilan substantif. Dia menyebut Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) akan berdampak pada nasib bangsa Indonesia pasca era reformasi.
Hal itu disampaikan Sri Wiyanti dalam peringatan Hari Kartini, di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Minggu (21/4/2024). Acara tersebut merupakan rangkaian kegiatan Kampus Menggugat, civitas akademika UGM memaknai Hari Kartini sebagai tonggak pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Normalisasi kecarut-marutan patut kita respons, baik sebagai insan pribadi, rakyat atau warga negara maupun selaku akademisi. Kita berharap masih ada nalar bagi para hakim di MK yang secara komperhensif menganalisis dengan meletakkan keputusannya pada konteks keadilan substantif ketimbang keadilan formal. Kita bicara pada nasib bangsa Indonesia yang harapannya berubah lebih baik dalam mencapai paska 25 tahun Era Reformasi Indonesia,” katanya.
Dia mengatakan aspek dan kondisi penegakan hukum di Indonesia tidak baik-baik saja dan kondisi buruk ini telah berjalan puluhan tahun.
Katanya, di era reformasi tidak bisa meretas problematika penegakan hukum yang cenderung meminggirkan pihak yang lemah dan memperkuat pihak yang memiliki posisi, cenderung tebang pilih, dan menjadi cara untuk mengambil keuntungan bagi mereka yang berkuasa bahkan di level paling bawah.
Lebih jauh, Sri Wiyanti menuturkan, paradigma hukum yang sangat erat dengan politik. Dalam wacana hukum dan politik yang berkeadilan, hukum diidealkan sebagai sebuah kesepakatan masyarakat yang berbasis pada idealitas dan moral kebajikan untuk menjaga aras politik dan pembangunan.
Tapi, dalam praktiknya paradigma hukum yang berkeadilan tertebas dengan politik yang buas, maskulin, dan tanpa dasar nilai-nilai kemaslahatan.
“Proses pembentukan hukum diwarnai pembentukan politik praktis dan produk hukum menjadi legitimasi kekuasaan untuk kepentingan elite semata. Apa yang terjadi dalam perdebatan Pemilu 2024 adalah contoh yang sangat transparan terhadap bagaimana hukum digunakan secara sistematis dan menggunakan insitusi demokrasi yaitu DPR dalam pengesahan Bansos yang digulirkan secara masif selama Pemilu," katanya.
"Ini contoh legitimasi hukum oleh kekuasaan karena dana Bansos tersebut seolah-olah sah dan legitimated,” sambungnya.
(Khafid Mardiyansyah)