JAKARTA - Laut Cina Selatan, sebuah perairan yang menjadi salah satu pusat ketegangan geopolitik di Asia, baru-baru ini mengalami eskalasi signifikan. Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. telah mengeluarkan peringatan keras kepada China, memperingatkan untuk tidak melakukan tindakan agresif apa pun yang dapat berpotensi melewati "garis merah."
Ia menekankan bahwa segala kerugian yang dialami warga negara Filipina akibat tindakan sengaja China dapat dianggap sebagai provokasi perang. Peringatan ini muncul setelah meningkatnya konfrontasi dan "aktivitas zona abu-abu" yang tidak jelas oleh kapal-kapal China di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina sejauh 200 mil.
Mengutip dari The Hong Kong Post pada Sabtu (22/6/2024), skenario saat ini menyoroti sifat sengketa teritorial yang tidak menentu di kawasan tersebut, dan ancaman yang membayangi dari ketegangan ini dapat sewaktu-waktu berubah menjadi perang berskala penuh.
Di tengah meningkatnya ketegangan, Marcos Jr telah mengisyaratkan kemungkinan perang dengan China. Hal ini muncul sebagai tanggapan atas berbagai konfrontasi yang semakin bermusuhan dengan Penjaga Pantai China di Laut China Selatan.
Ketika ditanya tentang kemungkinan jika ada prajurit Filipina kehilangan nyawanya karena tindakan Penjaga Pantai China, Marcos Jr menjawab dengan tegas. Ia menyatakan bahwa bukan hanya prajurit, tetapi jika ada warga sipil Filipina yang terbunuh akibat tindakan yang disengaja, maka itu sama saja dengan tindakan perang. Ia menegaskan bahwa kejadian seperti itu hampir pasti akan melewati "garis merah" Filipina.
'Crossing the Rubicon'
Dalam konferensi pertahanan global di Singapura, Marcos Jr menyatakan bahwa Amerika Serikat (AS), yang memiliki perjanjian pertahanan dengan Filipina, diharapkan untuk mematuhi prinsip yang sama. Ini adalah contoh pertama di mana presiden mengisyaratkan situasi yang berpotensi menggunakan klausul perjanjian 1951 untuk bantuan dari AS.
Sejak Agustus sebelumnya, telah terjadi banyak contoh kapal Penjaga Pantai China yang menggunakan meriam air terhadap kapal Filipina yang mengirimkan pasokan ke pangkalan militer di wilayah Laut China Selatan, yang mengakibatkan kerusakan pada kapal dan cedera pada pelaut Filipina.
Marcos Jr menyampaikan kesedihan atas cedera yang dialami para pelaut, sambil mengungkapkan rasa syukur bahwa situasi tersebut belum meningkat hingga menimbulkan korban jiwa. Ia memperingatkan bahwa peristiwa semacam itu dapat berujung pada 'Crossing the Rubicon,' istilah untuk situasi yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Perilaku agresif Penjaga Pantai China, ditambah dengan perlawanan Manila yang tak tergoyahkan, telah memperkuat kekhawatiran bahwa sengketa teritorial yang telah berlangsung lama di Laut China Selatan berpotensi berubah menjadi bentrokan bersenjata.
Filipina secara konsisten mengirimkan kapal pasokan ke Sierra Madre, kapal militer tua bekas AS yang sengaja dikandaskan pada 1999 di Second Thomas Shoal. Gumuk pasir ini, yang terletak di Laut China Selatan dan juga diklaim oleh China, adalah tempat kontingen kecil tentara Filipina ditempatkan.
Sejak awal tahun sebelumnya, China telah mengintensifkan upayanya untuk mengganggu misi pasokan ulang Filipina, dengan mengerahkan kapal penjaga pantai dan milisi maritim. Pada 2023, Manila melaporkan sebuah insiden di mana sebuah kapal China menggunakan laser untuk menargetkan kapalnya. Lebih jauh lagi, terjadi beberapa tabrakan kapal tahun lalu, yang oleh Filipina dikaitkan dengan taktik penghalangan yang digunakan oleh China.
Komentar Marcos Jr disampaikan setelah pidatonya di hadapan para menteri pertahanan, pemimpin militer, diplomat, dan analis di Shangri-La Dialogue di Singapura beberapa waktu lalu. Ia menggambarkan negaranya sebagai penjaga kerangka kerja keamanan regional yang didasarkan pada hukum dan perjanjian internasional.
Kemitraan Filipina-AS
Marcos Jr menyoroti kontras antara upaya mereka dan upaya aktor lain yang tidak disebutkan namanya. Ia lebih lanjut menekankan bahwa Filipina berada di garis depan di Laut China Selatan, berjuang untuk menegakkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang mengatur hak-hak negara pesisir.
Penegasan China tentang kendali yang hampir sepenuhnya atas Laut China Selatan bertentangan dengan hak istimewa ekonomi dan, dalam beberapa kasus, kedaulatan banyak negara pesisir di bawah UNCLOS. Namun, sejak menjabat pada pertengahan tahun 2022, Marcos Jr telah mengubah negaranya menjadi penentang China yang paling vokal dalam masalah ini.
Marcos Jr telah menghidupkan kembali kemitraan Manila dengan AS, memimpin latihan militer bilateral paling signifikan dalam 30 tahun dan memberikan akses yang lebih baik kepada pasukan AS ke pangkalan-pangkalan negaranya. "Saya tidak berniat mundur. Orang Filipina tidak akan mundur," tegas Marcos Jr.
Ia menegaskan hak negara-negara di kawasan untuk menentukan nasib mereka sendiri, daripada sekadar menjadi "panggung" bagi persaingan negara-negara adikuasa. Marcos Jr mencatat bahwa persaingan strategis antara AS dan China membatasi pilihan negara-negara di kawasan dan meningkatkan ketegangan.
"Peran China yang berpengaruh (di kawasan) adalah kenyataan yang abadi," tegas Marcos Jr. "Namun, pengaruh AS yang menstabilkan juga tetap penting," sambungnya.
Keagresifan China di Laut China Selatan, yang ditandai dengan klaim teritorial dan tindakan agresif, telah meningkatkan ketegangan dengan Filipina. Hal ini menyebabkan revitalisasi aliansi Manila dengan AS, yang menunjukkan penolakan yang jelas terhadap Beijing.
Sengketa teritorial berkepanjangan, ditambah dengan penolakan China untuk menyerah, telah meningkatkan risiko konflik militer. Jika tidak diatasi, ketegangan ini berpotensi meningkat menjadi perang besar-besaran antara Filipina dan China, yang sudah pasti mengganggu stabilitas regional dan hukum internasional. Oleh karenanya, upaya diplomatik dan kepatuhan terhadap perjanjian internasional sangat penting untuk mencegah skenario seperti itu.
(Rahman Asmardika)