GAZA – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masih terus mencari cara agar bisa memasok bantuan ke Gaza. Salah satu cara yang tengah diupayakan yakni mencari alat komuniaksi yang bisa digunakan para tim keselamatan di Gaza. Starlink pun disebut-sebut akan segera masuk ke Gaza untuk menjadi solusi masalah tersebut.
Starlink yang dimiliki oleh miliarder Elon Musk digunakan secara luas di Ukraina, digunakan oleh militer, rumah sakit, bisnis, dan organisasi bantuan kemanusiaan.
"Apakah itu Starlink? Apakah itu teknologi lain? Saya tidak terlalu peduli selama kami memiliki apa yang kami perlukan untuk berkomunikasi secara aman dengan tim kami demi keselamatan dan operasional," kata Andrea De Domenico, kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB di Wilayah Pendudukan Palestina, merujuk pada internet satelit SpaceX.
Sementara itu, juru bicara PBB Stephane Dujarric dan seorang pejabat pertahanan Israel, yang berbicara secara terpisah tanpa mau disebutkan namanya, mengatakan diskusi sedang dilakukan mengenai berbagai opsi komunikasi yang dapat digunakan untuk operasi kemanusiaan di Gaza.
“Soal teknologinya sendiri, saya belum bisa bilang apakah itu Starlink atau yang lainnya. Saya belum tahu. Tapi kita harus menemukan sesuatu yang membuat kita nyaman dan itu juga akan membantu mereka,” kata pejabat pertahanan Israel.
“Ada beberapa kekhawatiran keamanan sehubungan dengan apa yang bisa dilakukan Hamas dengan peralatan komunikasi,” lanjut pejabat itu.
Dujarric mengatakan PBB adalah “platform agnostic” dan hanya menginginkan peralatan komunikasi yang tidak bergantung pada menara telepon seluler karena tidak dapat diandalkan.
"Starlink mendapat banyak berita utama, tapi ini bukan tentang Starlink, ini tentang mendapatkan peralatan apa pun yang berfungsi,” tegasnya.
Seperti diketahui, Israel terus menyerang Gaza dair berbagai wilayah. Yang terbaru, serangan udara Israel lainnya menghantam sebuah mobil di kota selatan Deir Al-Balah, menewaskan tiga orang.
Deir Al-Balah dipenuhi dengan ratusan ribu warga Palestina yang terpaksa meninggalkan rumah mereka di tempat lain di Gaza, dan warga mengeluhkan kekurangan air minum dan kenaikan harga bahan makanan pokok.
"Tidak ada air bersih untuk diminum. Kami terpaksa membeli air asin atau tidak bersih dengan harga tinggi," kata Shaban, ayah lima anak berusia 47 tahun, kepada Reuters melalui aplikasi obrolan.
Dia mengatakan banyak pengungsi yang menderita sakit perut dan penyakit seperti hepatitis.
Perang di Gaza dimulai ketika Hamas menyerbu Israel selatan pada 7 Oktober, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menangkap sekitar 250 warga sipil dan tentara, menurut penghitungan Israel.
Serangan balasan yang dilancarkan Israel dalam upaya melenyapkan Hamas telah menewaskan hampir 38.000 orang, menurut Kementerian Kesehatan Gaza, dan telah menyebabkan wilayah pesisir yang padat penduduknya menjadi reruntuhan.
(Susi Susanti)