Kesusasteraan di zaman Kerajaan Kediri berkembang pesat. Apalagi saat Kerajaan Kediri dipimpin oleh Prabu Jayabaya yang membawa puncak kejayaan Kediri. Kerajaan Kediri begitu disegani di nusantara. Sosok Prabu Jayabaya sendiri yang dihormati dan memerintah dengan bijaksana di mata rakyatnya.
Kejayaan Kediri itu juga tercermin dalam hal karya sastranya. Prabu Jayabaya memerintahkan pujangga sastra di Kediri untuk menggubah karya sastra, untuk mendeskripsikan kebesaran kerajaan. Tercatat ada tujuh karya sastra besar yang dihasilkan selama Kerajaan Kediri berkuasa, dari karya - karya sastra inilah sejarah dan gambaran Kerajaan Kediri dapat diketahui.
Sejumlah nama pujangga sastra mulai bermunculan di masa Prabu Jayabaya. Beberapa nama seperti Mpu Panuluh, Mpu Sedah, hingga Mpu Monaguna, jadi deretan pujangga penulis kitab - kitab kuno era Kediri. Sebagian besar kitab yang disusun ini menceritakan mengenai sejarah Kerajaan Kediri.
Dikutip dari "Babad Tanah Jawi" dari tulisan Soedjipto Abimanyu, salah satu kitab kuno yang terkenal dari Kerajaan Kediri adalah Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Kakawin Bharatayuddha ini merupakan salah satu karya sastra Jawa kuno yang termahsyur. Kakawin ini menceritakan peperangan antara kaum Kurawa dan Pandawa, yang disebut peperangan Bharatayuddha.
Karya sastra ini digubah oleh Mpu Sedah dan belakangan diselesaikan oleh Mpu Panuluh ini dipersembahkan bagi Prabu Jayabaya pada 1135 - 1157 Masehi. Kitab ini ditulis pada sekitar akhir masa pemerintahan Raja Daha tersebut. Kakawin ini tepatnya selesai ditulis pada 6 November 1157.
Kitab kedua yang ditulis Mpu Panuluh adalah Kakawin Hariwangsa, salah satu karya sastra Jawa kuno ditulis saat Prabu Jayabaya memerintah pada tahun 1135 - 1157 Masehi. Kata hariwangsa secara harfiah berarti silsilah atau garis keturunan Sang Hari atau Wisnu. Cerita yang dikisahkan dalam bentuk kakawin ini adalah cerita ketika sang Prabu Kresna, titisan Batara Wisnu, ingin menikah dengan Dewi Rukmini dari negeri Kundina, putri Prabu Bismaka.