Saat kapolri pertama, Kombes Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, dan seorang staf Departemen Luar Negeri RI menghadap, mereka pun diamuk Laksamana Maeda. Sementara Kapolri pun hanya bisa minta maaf dan memberi penjelasan bahwa insiden itu berada di luar kemampuan pemerintah republik.
Diuraikan pula bahwa memang di kawasan Bekasi, belum semua masyarakatnya tunduk pada arahan pemerintah dan mereka sudah berusaha menolong, walau akhirnya gagal. Singkatnya, Maeda bisa memaafkan walau berat dan berharap, kejadian serupa tak terulang.
Terlepas dari amukan Maeda itu, dikatakan muncul sejumlah “penampakan” di situs itu beberapa waktu kemudian. Dalam buku Robert B. Cribb bertajuk ‘Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945–1949’, masyarakat sekitar acap dihantui arwah-arwah serdadu Jepang yang tidak tenang.
Sebagai pengingat peristiwa ini, Pemerintah Kota Bekasi membangun Monumen/Tugu Kali Bekasi di tepi sungai atas kerjasama Pemerintah Jepang. Setiap tahun pada 19 Oktober, warga Jepang di Indonesia juga acap melakukan ritual tabur bunga di tepi Kali Bekasi demi mengenang peristiwa pahit tersebut.
(Qur'anul Hidayat)