HONG KONG – Hong Kong mencatat rekor kemerosotan properti yang terparah dalam lima tahun terakhir. Saat ini, kota itu mengalami penurunan nilai properti terpanjang sejak dampak krisis SARS lebih dari dua dekade lalu.
Analis Bloomberg baru-baru ini memperkirakan HKD2,1 triliun (sekitar USD270 miliar) telah hilang dari nilai real estat di kota semi-otonom itu sejak 2019. Penilaian dari pakar UBS dan CBRE juga menunjukkan prospek yang suram dan penurunan lebih lanjut.
Sama seperti kota-kota besar lainnya seperti New York dan London, Hong Kong bergulat dengan kombinasi kenaikan suku bunga, kehilangan pekerjaan di sektor keuangan, dan kebiasaan kerja yang berkembang. Namun, bagi banyak warga, kemerosotan harga properti telah menjadi indikator nyata dari tren yang lebih meresahkan: hilangnya kepercayaan yang semakin besar terhadap posisi Hong Kong sebagai pusat keuangan terkemuka di Asia.
Dilansir Hong Kong Post, Selasa, (17/9/2024), salah satu pengembang terbesar di Hong Kong, New World Development, mengantisipasi kerugian pertamanya dalam dua dekade. Perusahaan yang dimiliki oleh keluarga miliarder Cheng itu, memperkirakan akan melaporkan kerugian hingga HKD20 miliar untuk tahun keuangan yang berakhir di bulan Juni.
Penurunan ini disebabkan tindakan keras Presiden Xi Jinping terhadap pasar properti China, hengkangnya bisnis Barat, dan kenaikan suku bunga. Selain itu, depresiasi renminbi semakin memperburuk situasi. Laba inti diproyeksikan akan turun hingga 23 persen.
Gagal Membayar Utang
Saham New World Development anjlok ke level terendah dalam 21 tahun sekitar HKD6,80 pada Senin lalu setelah pembaruan keuangan terbaru. Didirikan pada 1970, berbagai investasi perusahaan dalam pengembangan perumahan, pusat perbelanjaan, kantor, dan hotel menjadikannya barometer kesehatan ekonomi Hong Kong. Wilayah administratif khusus tersebut telah mengalami resesi berulang sejak pandemi, di mana Beijing memperketat cengkeramannya dengan menerapkan undang-undang keamanan yang kontroversial.
Konsolidasi kekuasaan ini telah berdampak signifikan pada masyarakat sipil Hong Kong, memaksa aktivis pro-demokrasi mengasingkan diri. Akibatnya, banyak bisnis Barat telah mengurangi kehadiran mereka di Hong Kong, yang menyebabkan penurunan investasi.
Awal tahun ini, mantan ketua Morgan Stanley Asia Stephen Roach menulis di Financial Times, "Menyakitkan bagi saya untuk mengakuinya, tetapi Hong Kong sekarang sudah berakhir," mengacu pada pasar saham Hang Seng di wilayah tersebut.
Pasar properti di Hong Kong telah terdampak signifikan oleh perlambatan ekonomi yang berkepanjangan di daratan China. Sejak 2021, pemerintah China telah memberlakukan peraturan yang lebih ketat tentang jumlah pinjaman yang dapat dipinjam pengembang, yang menyebabkan krisis di sektor properti yang terlilit utang besar. Hal ini mengakibatkan beberapa pengembang besar gagal membayar utang mereka, dengan Evergrande menjadi yang paling terkenal, dipaksa melakukan likuidasi awal tahun ini setelah mengakumulasi utang sebesar HKD328 miliar.
Menurut data terbaru dari CBRE, harga rumah di Hong Kong diproyeksikan turun hingga 10 persen selama sisa tahun ini. Statistik resmi pemerintah menunjukkan bahwa harga perumahan telah turun sebesar 3,1 persen di paruh pertama tahun 2024.
New World Development adalah yang terbaru dalam serangkaian pengembang Hong Kong yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan keuangan. Bulan lalu, Henderson Land Development melaporkan kerugian setengah tahun sebesar HKD2,3 miliar. Meski Presiden Xi Jinping berupaya menghidupkan kembali sektor properti yang sedang berjuang, keberhasilannya terbatas.
Proyeksi Pertumbuhan Properti
Pada Mei, pemerintah China memperkenalkan paket kebijakan yang ditujukan untuk menarik pembeli kembali ke pasar dengan melonggarkan aturan hipotek. Selain itu, bank sentral meluncurkan fasilitas "pinjaman ulang" sebesar 300 miliar yuan untuk membantu perusahaan milik negara membeli flat komersial yang tidak terjual untuk perumahan yang terjangkau.
Terlepas dari langkah-langkah ini, kekhawatiran tetap ada. UBS baru-baru ini menurunkan perkiraannya untuk ekonomi China, dengan menyebut kemerosotan properti yang sedang berlangsung sebagai faktor utama. Bank investasi tersebut menurunkan proyeksi pertumbuhannya untuk tahun depan dari 4,6 persen menjadi 4 persen.
New World Development, pemain utama di pasar real estat Hong Kong, bersiap menghadapi kerugian pertamanya dalam dua dekade, dengan perkiraan kerugian mencapai HKD20 miliar untuk tahun fiskal yang berakhir di Juni.
Kemunduran keuangan ini sebagian besar disebabkan kebijakan ketat Presiden Xi Jinping di pasar properti China, penarikan bisnis Barat, dan kenaikan suku bunga. Depresiasi renminbi semakin memperparah masalah tersebut, yang menyebabkan penurunan laba inti sebesar 23 persen. Saham perusahaan baru-baru ini mencapai titik terendah dalam 21 tahun, diperdagangkan sekitar HKD6,80.
Meski ada intervensi pemerintah yang bertujuan merevitalisasi sektor properti, seperti melonggarkan aturan hipotek dan memperkenalkan fasilitas "pinjaman ulang" senilai 300 miliar yuan, kekhawatiran tetap ada. UBS telah menurunkan perkiraan ekonominya untuk China, dengan menyebut kemerosotan properti yang berkepanjangan sebagai faktor signifikan, dan telah mengurangi proyeksi pertumbuhannya untuk tahun depan dari 4,6 persen menjadi 4 persen.
(Rahman Asmardika)