JAKARTA- Kehidupan Nyai dan Gundik menarik untuk dibahas. Dalam era penjajahan Belanda, kebutuhan ekonomi mendesak telah membuat perempuan Pribumi yang berprofesi sebagai Nyai mengabaikan panggilan yang merendahkannya.
Salah satu adanya praktek pergundikan yang dilakukan Nyai yang terbentuk karean adanya kultur patriarki yang tumbuh di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Tuntutan ekonomi juga menjadi salah satu penyebab maraknya pergundikan kala itu.
Dilansir dari berbagai sumber pada Rabu (30/10/2024), Okezone telah merangkum kehidupan Nyai dan Gundik, sebagai berikut.
Kehidupan Nyai dan Gundik
Gundik atau Nyai menjadi istilah yang digunakan orang zaman dulu untuk perempuan yang menjalin hubungan dengan lelaki Belanda, dapat sebagai pendamping sementara, teman tidur atau pasangan yang tidak resmi. Mereka kebanyakan tidak diakui secara resmi dan tidak mempunyai hak-hak yang setara dengan istri resmi.
Adanya Gundik dan Nyai mencerminkan dominasi budaya penjajahan yang merendahkan peran dan harga diri wanita pribumi kala itu dan mengeksploitasi mereka dengan cara seksual. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tidak sedikit perempuan yang bekerja sebagai Nyai pada pejabat daerah ataupun pada pegawai Belanda.
Nyai menjadi panggilan untuk seorang perempuan yang belum atau sudah menikah atau panggilan untuk seorang perempuan yang usianya lebih tua dari orang yang memanggil. Di samping itu, Nyai juga sebutan untuk gundik orang asing terutama orang Eropa.