Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Sutan Sjahrir hingga Bung Hatta Potret Keteladanan Moral dan Etika

Arief Setyadi , Jurnalis-Minggu, 03 November 2024 |07:39 WIB
Sutan Sjahrir hingga Bung Hatta Potret Keteladanan Moral dan Etika
Diskusi bertajuk Memperkokoh Etika Penyelenggara Negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara (Foto: Ist/Okezone)
A
A
A

MEDAN - Prinsip dasar dalam demokrasi modern adalah akuntabilitas dan etika publik. Namun, di Indonesia prinsip-prinsip ini sering kali masih terabaikan dalam penyelenggaraan negara.

"Demokrasi modern mengandaikan ada pertanggungjawaban publik, bahwa jabatan publik yang diemban itu mensyaratkan pertanggungjawaban kepada konstituen secara keseluruhan,” ujar Amich Alhumami, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencananaa Pembangunan Nasional, dalam keterangannya, Sabtu (2/11/2024).

Amich pun menekankan urgensi mengembalikan etika dan keteladanan sebagai dasar tata kelola negara. Hal tersebut diungkap Amich dalam diskusi kelompok terpumpun (FGD) bertema Memperkokoh Etika Penyelenggara Negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumut, Jumat 1 November 2024.

Amich mengambil contoh Sutan Sjahrir dan Mohammad Hatta, dua tokoh besar bangsa yang menunjukkan pentingnya moralitas dan etika dalam mengemban amanah. Keduanya menjadi teladan luar biasa dalam moralitas dan etika publik.

"Sjahrir dan Hatta memberikan contoh terbaik keteladanan nasional, mengutamakan moralitas publik dan etika di atas hukum,” katanya.

Amich juga menyoroti peran penting intelektual publik dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Ia mengutip konsep “intelektual organik” dari Antonio Gramsci, yang menekankan pentingnya suara kritis dalam menjaga arah kebijakan publik dalam tata kelola pemerintahan. 

“Pencerahan dan kritik publik adalah bagian dari peran intelektual organik, oleh siapa saja yang masih memiliki pikiran untuk merujuk pada warisan berharga dari tokoh sejarah,” katanya.

Amich mengingatkan, pemahaman yang benar akan prinsip-prinsip tata kelola yang baik sangat penting,  terutama bagi para pejabat publik. Ia menegaskan, bahwa prinsip demokrasi modern dalam konsep tata kelola mengandaikan bahwa misuse of public power itu adalah definisi korupsi. Namun, ini mengandaikan pejabat yang memahami prinsip etika publik.

 

Selain itu, Amich menyebutkan pentingnya keteladanan sebagai bagian tak terpisahkan dari jabatan publik, merujuk pada sosok seperti Ir. Sutami dan Sultan Hamengku Buwono IX yang memilih hidup sederhana meski berada di posisi tinggi. Menurutnya, para tokoh tersebut bukti bahwa etika publik bukanlah konsep abstrak.

Sejalan dengan Amich, Iwan Pranoto, Guru Besar ITB, mengingatkan bahwa keteladanan harus dimulai dari setiap individu, bukan hanya dari pemerintah. "Siapa yang memberi keteladanan? Apakah kita harus menunggu penguasa memberikan teladan? Menurut saya, tidak. Itu terlalu lama,” ujarnya.

Iwan menyoroti pendidikan karakter yang menurutnya terlalu fokus pada aspek material seperti kurikulum dan buku teks, tanpa menekankan hasil nyata yang diperoleh. “Yang harus dibenahi adalah diri kita masing-masing,” imbuhnya.

Ia menekankan bahwa etika publik harus didasarkan pada kemampuan bernalar kritis agar masyarakat tidak hanya mengikuti tindakan tanpa mempertimbangkan dampaknya.

Sementara itu, Dosen Universitas Sanata Dharma, Johanes Haryatmoko, menilai bahwa keteladanan adalah cara pengajaran yang efektif. “Teladan dan contoh tidak menggurui. Ketika kita membaca novel atau menonton film, kita bisa mengambil paradigma kehidupan tanpa merasa digurui,” katanya.

Haryatmoko mengusulkan cara-cara yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penilaian etika publik, seperti sistem penilaian kinerja pelayanan publik oleh warga. Ia juga menekankan bahwa Pancasila harus dijabarkan dalam indikator konkret agar dapat diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

“Nilai-nilai Pancasila itu jangan menjadi nilai yang abstrak,” katanya.

Meski begitu, Haryatmoko mengingatkan bahwa pola pikir instan masih menjadi tantangan besar dalam membentuk karakter yang kuat. Budaya masyarakat yang ingin cepat terkenal menunjukkan bahwa etika dan keteladanan seringkali dianggap sebagai sesuatu yang instan, padahal pembentukan karakter memerlukan proses panjang dan konsisten.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement