Meningkatnya jumlah rumah tangga berpenghasilan ganda dan akses pendidikan yang lebih besar telah memberdayakan perempuan untuk menunda atau sama sekali tidak menikah dan melahirkan.
Selain itu, pernikahan tidak lagi dianggap penting untuk memiliki anak. Selama dekade terakhir, persentase orang yang menerima untuk memiliki anak di luar nikah telah meningkat dari 22% menjadi 35%, meskipun hanya 2,5% anak yang lahir di luar nikah di Korea Selatan.
Bagi mereka yang menikah, perempuan menuntut lebih banyak kesetaraan dalam tanggung jawab rumah tangga. Kesenjangan gender yang mencolok masih ada, dengan 92% perempuan melakukan pekerjaan rumah tangga pada hari kerja dibandingkan hanya 61% laki-laki.
Kesenjangan ini telah menyebabkan kekecewaan yang meluas terhadap peran pernikahan tradisional. Faktanya, survei tahun 2024 mengungkapkan, sepertiga wanita di Korea Selatan tidak ingin menikah, dengan 93% yang menyebutkan beban pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak sebagai alasan utama.
Kesetaraan
Kesenjangan gender di Korea Selatan mungkin merupakan salah satu faktor paling signifikan yang berkontribusi terhadap krisis kesuburan. Sementara wanita semakin mencari kemitraan yang setara, iklim politik negara tersebut telah melihat peningkatan sentimen anti-feminis, khususnya di kalangan pria yang lebih muda.
Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol telah menyerukan penghapusan kuota gender dan bahkan menyatakan bahwa feminisme adalah akar penyebab memburuknya hubungan antara pria dan wanita.
Hal ini telah memicu pertempuran politik dan budaya yang sengit, dengan sikap presiden tentang kesetaraan gender yang menuai kritik dari para aktivis hak-hak perempuan dan semakin memecah belah masyarakat.
Korea Selatan berada di peringkat terendah di OECD dalam hal kesetaraan gender, yaitu di peringkat ke-94 secara global. Negara ini tertinggal dalam beberapa bidang utama seperti partisipasi ekonomi (peringkat ke-112), pendidikan (peringkat ke-100), pemberdayaan politik (peringkat ke-72), dan kesehatan (peringkat ke-47).
Ketidakseimbangan gender ini telah memicu rasa frustrasi di kedua belah pihak, dengan para perempuan menuntut kesempatan yang lebih setara dan para laki-laki mengungkapkan rasa tidak suka terhadap kebijakan yang mereka anggap berpihak pada perempuan.