Selain itu, akun media sosialnya dipenuhi dengan materi anti-Islam, termasuk video grafis yang menggambarkan seorang perempuan Muslim dihukum rajam karena hubungan di luar nikah. “Ini adalah hukum Islam dan akan terlihat di jalanan kota Anda jika Anda tidak segera sadar,” jelas Abdulmohsen dalam video tersebut, meskipun keasliannya belum dapat diverifikasi.
Sebelum melakukan serangan, Abdulmohsen pernah diwawancarai oleh media Jerman dan internasional, termasuk situs-situs sayap kanan. Ia memposisikan dirinya sebagai aktivis hak asasi manusia. Pada 2017, ia sempat berkorespondensi dengan The New Arab, dan pada 2019, ia diwawancarai oleh BBC. Dalam salah satu wawancaranya, ia mengungkapkan bahwa ia datang ke Jerman untuk pelatihan sebagai psikoterapis, tetapi kemudian mengajukan suaka setelah menerima ancaman pembunuhan karena meninggalkan Islam.
Lima hari sebelum serangan, Abdulmohsen mengkritik pengungsi Suriah di Jerman dalam sebuah wawancara dengan RAIR Foundation, sebuah organisasi sayap kanan. “Jerman menyambut orang-orang Suriah, termasuk banyak Islamis. Sementara secara bersamaan menolak murtadin dari Saudi, orang-orang yang benar-benar melarikan diri dari hukuman mati berbasis syariah,” tegasnya.
(Rahman Asmardika)