Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Pemerintah Diminta Jangan Gegabah Tangani Kasus Pagar Laut

Arief Setyadi , Jurnalis-Rabu, 29 Januari 2025 |17:07 WIB
Pemerintah Diminta Jangan Gegabah Tangani Kasus Pagar Laut
Pagar Laut Tangerang (Foto: Dok)
A
A
A

JAKARTA –  Pemerintah diminta untuk tidak gegabah dalam menangani persoalan pagar laut sepanjang 30,16 Kilometer di Tangerang, Banten. Sebab, kebijakan yang diambil bisa menjadi cerminan berdasarkan hukum atau hanya karena tekanan pihak tertentu.

"Kasus ini tidak hanya menjadi ujian bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, tetapi juga menjadi cerminan apakah kebijakan negara mampu berdiri tegak di atas landasan hukum dan keadilan sosial, atau justru terombang-ambing oleh tekanan pihak tertentu," ujar pengamat hukum dan politik, Pieter C Zulkifli dalam keterangannya, Jakarta, Rabu (29/1/2025).

Menurutnya, berbagai pertanyaan bermunculan setelah adanya penyegelan yang dilakukan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang dilanjutkan dengan ancaman pembongkaran dalam waktu 20 hari terhitung sejak 10 Januari 2025. Di mana, terjadi ketidaksepahaman saat Prabowo memerintahkan disegel dan dibongkar dan diterjunkan 600 personel TNI Angkatan Laut.

Sedangkan Menteri KKP Sakti Wahyu Trenggono justru meminta pembongkaran ditunda dengan alasan perlunya kajian lebih mendalam. Zulkifli melihat kelemahan dalam koordinasi antarkementerian, kendati diakuinya Menteri KKP mendorong perlunya kehati-hatian dalam menindak persoalan yang dalangnya masih misterius itu.

Biaya yang dikeluarkan diperkirakan untuk membuat pagar laut juga tidak sedikit, bahkan estimasinya mencapai Rp1,5 miliar. Menurutnya, muncul juga banyak pertanyaan bagaimana bisa proyek sebesar itu luput dari pengawasan pemerintah.

Spekulasi bermunculan, yang mengaitkan dengan proyek perluasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, sebuah Proyek Strategis Nasional (PSN) era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kendati, diakui Zulkifli, hal tersebut telah dibantah.

"Namun, pihak pengembang telah membantah keterlibatan mereka," ujar mantan Ketua Komisi III DPR itu.

Munculnya SHGB dan SHM

Munculnya Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di wilayah tersebut menambah kegaduhan. Meskipun, setelah memeriksa dokumen yuridis, prosedur administrasi, dan kondisi fisik material tanah, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid mencabutnya.

Sikap yang diambil Nusron mendapat apresiasi. Meski tak luput dari kritik karena dianggap emosional dan tak memahami sepenuhnya mengenai undang-undang. Dalam Pasal 1 Ayat (4)  Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, kata Zulkifli, definisi tanah meliputi permukaan bumi, tubuh bumi di bawahnya, serta yang berada di bawah kolom air.

 

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement