“Dalam manajemen, ada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Jika tidak diawasi, sistem yang baik pun bisa bermasalah,” ujar Bambang.
Dengan adanya revisi KUHAP, para ahli hukum berharap peran kejaksaan tetap kuat agar sistem peradilan di Indonesia dapat berjalan lebih efektif, adil, dan transparan.
Sementara itu, ahli hukum dari Undip, Pujiyono menyoroti bahwa KUHAP yang baru tidak serta-merta menjadikan jaksa sebagai lembaga yang terlalu dominan. Dalam revisi tersebut, mekanisme restorative justice (RJ) diperkuat, sebagaimana diatur dalam Pasal 132, yang memungkinkan penyelesaian berkeadilan sebagai dasar penghentian penuntutan.
Namun, ia mengkritisi kurangnya komunikasi antara penyidik dan jaksa dalam sistem yang ada saat ini.
“Saat ini, komunikasi formal hanya terjadi melalui surat resmi seperti Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Padahal, diperlukan komunikasi yang lebih cair agar ada kesamaan persepsi antara penyidik dan penuntut dalam menentukan kelanjutan perkara,” tutup Pujiyono.
(Fahmi Firdaus )