Operasi itu sukses besar. Nama Kopassus pun harum di dunia. Imbasnya, Subgyo turut menjadi bagian dari tim yang menerima kenaikan pangkat istimewa dari keberhasilan tersebut. Namun tak selamanya karier berjalan sesuai keinginan. Pada 1986, dia dimutasi sebagai Dansatpam Pasukan Pengawal Presiden.
Pria berkumis lebat itu kecewa. Subagyo bahkan menemui Sintong dan mengungkapkan isi hatinya. Namun Sintong menekankan, mutasi tersebut atas permintaan presiden. Bagyo tak bisa berkomentar. Kelak, penugasan ini justru memberikan pengalaman berharga baginya. Dari pasukan tempur, dia berada di Ring 1 Presiden Soeharto, sebuah tempat yang tak sembarang orang bisa memasukinya.
Kepercayaan masyarakat tentang nasib mujur pada bayi lahir terlilit usus agaknya terjadi pula pada Subagyo. Serdadu yang turut perang dalam Operasi Seroja itu resmi pecah bintang pada Mei 1994. Di angkatannya, dia orang pertama menyandang pangkat brigadir jenderal.
Hari demi hari berlalu. Ragam tugas dijalani. Tapi lembar baru dalam kariernya terjadi. Masih di tahun sama, mutasi di tubuh ABRI kembali bergulir. Subagyo didapuk sebagai orang nomor 1 pasukan elite Baret Merah alias Komandan Jenderal Kopassus.
Penunjukan ini mengagetkan banyak orang. Maklum, selain lama telah meninggalkan korps tesebut, nama jenderal berjuluk Bimo ini terhitung tak masuk bursa. Beberapa nama yang sempat digadang-gadang bakal menjabat posisi puncak pasukan berseragam loreng darah mengalir itu antara lain Asisten Operasi Kopassus Brigjen TNI Luhut Binsar Pandjaitan.
Faktanya, karier Bagyo terus bersinar terang. Dia menjadi jenderal paling dihormati dengan statusnya sebagai pemegang tongkat komando tertinggi. Berbagai kebijakan dan inovasi organisasi dilakukan selama berada di posisi itu.