DEN HAAG – Pemerintah Belanda ambruk pada Selasa, (3/6/2025) setelah politikus anti-Muslim Geert Wilders keluar dari koalisi, menuduh partai-partai lain gagal mendukung kebijakan imigrasinya yang lebih keras. Ambruknya pemerintahan ini akan mendorong mundurnya Perdana Menteri Dick Schoof dan akan memicu pemilihan umum awal di Negeri Kincir Angin.
Schoof menuduh langkah yang diambil Wilders tidak bertanggung jawab, terutama di tengah tantangan yang dihadapi negara itu.
Kekecewaan terhadap migrasi dan tingginya biaya hidup mendorong popularitas kelompok sayap kanan dan memperlebar perpecahan politik di negara-negara Eropa. Benua Biru saat ini menghadapi perseteruan dengan Rusia dan berbagai isu terkait kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Saya telah berulang kali mengatakan kepada para pemimpin partai dalam beberapa hari terakhir bahwa runtuhnya kabinet tidak perlu dan tidak bertanggung jawab," kata Schoof setelah rapat kabinet darurat yang dipicu oleh keputusan Wilders, demikian diwartakan Reuters.
"Kami menghadapi tantangan besar baik secara nasional maupun internasional yang membutuhkan ketegasan dari kami," imbuhnya, sebelum menyerahkan pengunduran dirinya kepada Raja Willem-Alexander.
Prospek pemilihan umum baru kemungkinan akan menunda keputusan untuk meningkatkan anggaran pertahanan dan berarti Belanda hanya akan memiliki pemerintahan sementara saat menjadi tuan rumah pertemuan puncak aliansi NATO transatlantik bulan ini.
Sementara itu Wilders mengatakan bahwa ia tidak punya pilihan selain keluar dari koalisi.
"Saya mengusulkan rencana untuk menutup perbatasan bagi pencari suaka, mengirim mereka pergi, menutup tempat penampungan suaka. Saya menuntut mitra koalisi untuk menyetujuinya, yang tidak mereka lakukan. Itu membuat saya tidak punya pilihan selain menarik dukungan saya untuk pemerintahan ini," katanya kepada wartawan.
Para menteri partai Wilders, PVV akan mengundurkan diri dari kabinet, meninggalkan yang lain untuk melanjutkan pemerintahan sebagai pemerintahan sementara hingga pemilihan umum yang kemungkinan besar tidak akan diselenggarakan sebelum Oktober.
Wilders mengatakan akan memimpin PVV ke pemilihan umum baru dan berharap menjadi perdana menteri berikutnya.
Wilders memenangkan pemilihan umum terakhir pada November 2023 dengan perolehan suara yang sangat tinggi, yaitu 23%. Jajak pendapat menempatkan partainya di sekira 20% sekarang, kira-kira setara dengan kombinasi Partai Buruh/Hijau yang saat ini merupakan kelompok terbesar kedua di parlemen.
Pekan lalu Wilders menuntut dukungan segera untuk rencana 10 poin yang mencakup penutupan perbatasan bagi pencari suaka, memulangkan pengungsi dari Suriah, dan menutup tempat penampungan suaka.
Ia juga mengusulkan pengusiran migran yang dihukum karena kejahatan serius dan meningkatkan kontrol perbatasan.
Migrasi telah menjadi isu yang memecah belah dalam politik Belanda selama bertahun-tahun. Pemerintah sebelumnya, yang dipimpin oleh sekretaris jenderal NATO saat ini Mark Rutte, juga runtuh setelah gagal mencapai kesepakatan untuk membatasi imigrasi.
Wilders, seorang politikus provokatif yang dihukum karena diskriminasi terhadap warga Maroko pada 2016, sendiri bukan bagian dari pemerintahan terbaru. Ia hanya berhasil mencapai kesepakatan koalisi dengan tiga partai konservatif lainnya tahun lalu setelah setuju untuk tidak menjadi perdana menteri.
Sebaliknya, kabinet dipimpin oleh Schoof yang tidak dipilih, seorang pegawai negeri sipil karier.
(Rahman Asmardika)