RADEN WIJAYA dibuat ketakutan saat lari dari kejaran tentara Kerajaan Kediri di bawah komando Jayakatwang. Peristiwa ini terjadi usai Jayakatwang dan tentaranya memporak-porandakan Kerajaan Singasari, hingga menewaskan Kertanagara rajanya dan seluruh pejabat istana.
Raden Wijaya yang tengah memberikan perlawanan di luar istana kerajaan tak kuasa menahan serangan Jayakatwang. Memang serangan mengerikan tentara Gelang-gelang Kediri ke Tumapel, ibu kota kerajaan membuat huru - hara di bulan Mei hingga Juni 1292.
Di peperangan inilah sosok Raden Wijaya atau yang juga disebut Dyah Wijaya mulai muncul. Raden Wijaya diperintahkan oleh Kertanagara penguasa Tumapel untuk menanggulangi tentara musuh yang sudah sampai di desa Jasun Wungkal di sebelah utara Tumapel.
Kakawin Pararaton sebagaimana Prof. Slamet Muljana menyatakan pada bukunya "Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit", menyajikan uraian panjang lebar tentang perang antara tentara Tumapel di bawah pimpinan Raden Wijaya dengan tentara Gelang-Gelang yang datang dari jurusan utara.
Tentara musuh berhasil diusir, namun tentara Gelang-Gelang yang datang dari jurusan selatan di bawah pimpinan Patih Kebo Mundarang, Pudot dan Bowong berhasil menembus pertahanan tentara Tumapel, masuk di istana dan menewaskan Raja Kertanagara.
Raden Wijaya yang diberitahu tentang kematian Sri Kertanagara, segera kembali ke Tumapel dan mengadakan serangan balasan. Dalam serangan balasan itu Raden Wijaya dan para pengikutnya menemukan kembali putri Tribhuwana, istri Raden Wijaya. Namun putri bungsu Sri Kertanagara yang bernama Gayatri tidak ditemukan. Hanya berkat nasihat Sora, keinginan Raden Wijaya untuk terus menyerang tentara musuh, terdorong oleh nafsu mencari Putri Gayatri, dapat dicegah.
Akhirnya Raden Wijaya masuk ke dalam hutan beserta para pengikutnya, yang berganti-ganti menggendong Putri Tribhuwana. Lama mereka itu mengembara di dalam hutan. Setelah dicapai kata sepakat antara para pengikutnya, maka Raden Wijaya dianjurkan untuk pergi ke Madura, minta bantuan kepada Adipati Wiraraja di Sumenep.
Saat pelarian itulah ada kejadian ajaib yang dialami Raden Wijaya di rumah salah satu kepala desa. Kisah ini dituliskan pada Kakawin Pararaton sebagai berikut "Keluarlah mereka dari dalam hutan, sampai di Pandakan, menuju rumah Kepala Desa Pandakan yang bernama Macan Kuping. Raden Wijaya diberi hidangan berupa buah kelapa muda, dipersilakan minum airnya".
"Ketika dipecah, ternyata kelapa itu berisi nasi putih. Heranlah semua orang melihatnya. Katanya: 'Sungguh ajaib, tak ada kelapa berisi nasi!' Gajah Pagon tidak dapat berjalan. Berkatalah Raden Wijaya kepada kepala desa Pandakan: 'Saya titip seorang teman, Gajah Pagon tak dapat berjalan, agar ia tinggal di sini!' ...... Gajah Pagon ditinggalkan.Raden Wijaya lalu pergi ke Datar pada malam hari. Setelah datang di Datar, naik perahu."
Desa Pandakan sendiri ditafsirkan Prof. Slamet Muljana terletak di sebelah barat daya Bangil di seberang selatan Sungai Porong. Di lereng Gunung Butak di Kabupaten Majakerta di temukan lempengan tembaga berisi prasasti bertarikh 11 September 1294, terkenal dengan sebutan prasasti Kudadu tentang anugerah tanah Kudadu kepada kepala desa Kudadu atas jasanya kepada Nararya Sanggramawijaya atau Raden Wijaya dalam perjalanan ke Madura.
Prasasti Kudadu tidak menyebut toponim Pandakan dan nama kepala desanya Macan Kuping. Namun jelas bahwa isinya mirip sekali dengan uraian Pararaton di atas. Oleh karena prasasti ini merupakan sejarah dari tangan pertama mengenai sepak terjang Raden Wijaya.
(Awaludin)